PIJAR DAKWAH MALUBI MEMEGANG TEGUH KOMITMEN


"Dinda isteriku, meski kita tidak dikaruniai keturunan, kau tetap cantik di hatiku. Kau tetap menggairahkanku. Meskipun kita sudah di usia senja, tapi aku merasakan saat-saat kita i SMA dulu. Kita telah sepakat untuk tidak mengenal yang namanya putus asa. Tuhan pasti sayang sama kita......." . 

Penggalan pernyataan romantis itu diutarakan oleh tokoh aku kepada istrinya, Dinda dalam cerpen "Segenggam Cinta dari Tanah Garapan". Keromantisan semakin terasa, karena pergulatan cakap tokoh aku dengan Dinda berlangsung saat tengah malam. Namun, keromantisan itu harus dibalut air mata. Menjelang subuh Allah menghendaki Dinda yang sedang sakit kembali ke haribaanNya.

Komitmen kehidupan sebagai suami yang setia kepada istri ditonjolkan Malubi dalam pesan cerpennya. Walaupun pasangan suami istri tanpa mendapat karunia anak dari Allah dan jalan usia sudah berada pada garis senja, namun cinta, sayang dan kebersamaan harus utuh sampai akhir hayat.

Komitmen dalam menjalani kehidupan nyata dengan tangguh dipegang kuat oleh sastrawan yang dilahirkan di Hutapungkut, Madina, 17 Agustus 1963. Konteks itu beliau tampakkan di dalam alur cerpen yang sama. Tokoh aku tetap mempertahankan tanah dan rumah sederhananya yang berdinding tepas untuk tetap dimilikinya. Rumah itu tidak akan dijual kepada siapapun. Walaupun orang yang menawar rumah itu telah meneror nyaris membakar rumah di tanah garapan itu. 

Realita itupun selaras dengan cerita Sugeng Satya Dharma dalam tajuk Sekapur Sirih, sosok Malubi orang yang sangat disiplin dengan waktu. Betapa tidak, sekali waktu meskipun dalam kondisi sakit perut, beliau penuhi janji untuk membezuk sastrawan Karahayon.

Sikap komitmen yang kuat terhadap suatu keputusan ditampilkan Malubi, begitu sapaan akrab pendakwah ini di dalam cerpennya yang berjudul "Cinta Membekap di Ujung Senja". Dituturkan dalam cerita itu, tokoh aku yang bekerja sebagai penarik beca pada usia senja dikucilkan oleh istri dan ketiga anaknya. Padahal sebelumnya tokoh aku telah membanting tulang untuk kelangsungan hidup keluarganya hingga ketiga anaknya berumah tangga. Kata pepatah; habis manis sepah dibuang.

Sang istri tidak hanya mengabaikan perannya sebagai pedamping suami dalam suka dan duka. Bahkan dia berani membagi hati dan tubuhnya dengan laki-laki lain. Dalam kehancuran hatinya, tokoh aku menceraikan istri dan meninggalkan keluarganya. Dia hidup sendiri di jalan bersama becanya. Tokoh aku berkomitmen meninggalkan keluarga demi harga dirinya.

Komitmen Berkeluarga

Kehidupan dalam rumah tangga tidak luput dari masalah. Berdirinya sebuah rumah tangga pasti telah dimotori suatu komitmen akan membina dan mempertahankan eksistensi pernikahan sampai dengan akhir hayat. Komitmen itulah yang disuguhkan dai yang wafat pada Jumat, 14 Mei 2021 di dalam cerpennya yang berjudul "Tetes Luka yang Tersisa"

Komitmen itu diwakilkan Malubi ke dalam tokoh Mariman. Mariman dan Melati menikah pada saat mereka berstatus mahasiswa. Hal itu memantik marah ayah Mariman, sehingga beliau tidak merestui pernikahan pasangan yang telah dianugerahkan Allah dua orang anak itu.

Mariman bersikap tegas, apapun yang menghadang pernikahannya dengan Melati, sekalipun orang tua tidak merestui, Mariman tetap mengendalikan laju rumah tangganya dengan aman, nyaman dan tentram. Mereka membina rumah tangga sendiri tanpa bergantung kepada belas kasihan orang tua.

Belakangan terbongkar rahasia sebuah dendam lama. Ketidaksetujuan ayah Mariman bermenantukan Melati dilatarbelakangi kisah asmara ayah Mariman dan emak Melati yang tidak mendapat restu dari kakek Melati. Kandas bahtera cinta keduannya. Ayah Mariman menyimpan api dendam yang tak pernah padam kepada keluarga Melati.

Romantis dan Islami

Bagi yang suka dengan kisah kehidupan rumah tangga yang romantis dan dikemas dengan pesan yang Islami, maka cerpen-cerpen Malubi yang terkumpul dalam buku Pijar Dakwah Malubi dalam Prosa dan Puisi  sangat layak untuk dibaca oleh kalangan muda dan tua. 

Hal itu direkomendasikan, karena selain bermuatan nilai religius dan psikologi, alur dan bahasa yang ditulis Malubi mudah dikuti dan dicerna oleh pembaca. Dengan kata lain, rangkaian cerpen-cerpen itu merupakan cerita realita dalam kehidupan banyak orang. Tentunya daya tarik itu tidak lepas dari kemasan buku yang dieditori oleh Sugeng Satya Dharma.

Cerpen-cerpen lain yang layak dibaca adalah Hidayah, Pengembara, Parto, Hukuman, Lamaran, Zulaiha, Senja Menjemput Malam, dan Gelombang.

Puisi Islam

Buku yang diterbitkan oleh Fosad (Forum Sastrawan Deli Serdang) pada tahun 2021 dihiasi pula dengan 16 judul puisi. Puisi-puisi dominan bernuansa Islam. Tentu hal itu memberikan tuntunan kepada manusia, apapun pangkat, profesi, juga sekaya dan semiskin apapun di dunia ini, suatu saat akan berakhir. 

Mati! Kembali kepada Allah mempertanggung jawabkan semua amal yang telah dibuat selama di dunia. Oleh sebab itu, manusia harus selalu ingat mati dan menyiapkan bekal yang akan dibawa pulang menghadap Allah Swt. Pesan itu tersurat dalam puisi Malubi berjudul Pulang, Kita Ini Musafir, dan Waktu Telah Sampai.

Malubi dalam puisi "Mi'raj"  mengisahkan perjalanan Rasulullah Muhammad Saw ke Sidartul Muntaha pada 27 Rajab.  menjemput perintah sholat dari Allah Swt.  Kemudian lewat puisi"Pintu" dan "Padang Arafah" mengingatkan kita untuk tidak melalaikan kewajiban mendirikan sholat. Sebab sholat merupakan tiang agama yang pertama kali akan dihisab Allah Swt di Akhirat kelak. Bila baik sholat seseorang, maka baiklah segala amal ibadahnya. Sebaliknya, bila jelek nilai sholatnya, maka jelek puka seluruh amal ibadahnya.

Puisi-puisi lain yang tidak boleh dilewatkan untuk dibaca oleh penikmat puisi berupa; Teringat Aku Padamu, Sunyi, Malam di Sebuah Masjid Tua, Ketika Kusampai di Rumahmu, Pertemuan, Palestina, Rebah, Negeri Abu-abu, Khataman, dan Munajat.

Buku bernomor ISBN 978-602-51938-3-5 diluncurkan persis pada peringatan 100 hari wafatnya Malubi. Persisnya hari Sabtu, 21 Agustus 2021. Buku yang diwarnai pengantar oleh Dr.Ir.Hj.Wan Hidayati, M.Si, Sekapur Sirih "Waktu Malubi" dikisahkan sang editor Sugeng Satya Dharma, Pembuka Buku "Mengenang Malubi" dipaparkan Hidayat Banjar secara detail perjalanan karier Malubi mulai dari pertama sekali menulis cerpen sampai dengan akhir hayat beliau. Dipermanis pula dengan berbagai pandangan sastrawan Sumut dan rekan sejawat terhadap eksisten Malubi sebagai pendakwah dan sastrawan. Semoga.








Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDAKI SERIBU ANAK TANGGA ZIARAH KE MAKAM SAHABAT RASULULLAH

KESEDERHANAAN SAID BIN AMIR

SEBUTIR PELURU