GORDANG SAMBILAN MUSIK TRADISIONAL TAPANULI SELATANG


GORDANG sambilan merupakan alat musik tradisional masyarakat Mandailing Natal, Tapanuli Selatan. Konon alat musik ini sudah ada sejak zaman kerajaan Nasution yang diperkenalkan oleh raja Sibaroar pada tahun 1575.

Gordang Sambilan mengandung arti sembilan buah gendang. Setiap gendang mempunyai ukuran panjang dan diameter yang berbeda. Dengan ukuran yang berbeda itu, maka bunyi yang dihasilkannya berbeda pula.

Tabung resonator Gordang Sambilan dibuat dari kayu yang dilubangi bagian tengah. Lalu lubang bagian kepala ditutup dengan kulit lembu yang ditegangkan dan diikat dengan tali rotan.

Instrumen musik pukul itu terdiri atas taba-taba (gendang 1 dan 2), tope-tope (gendang 3), kodong-kodong (gendang 4), kodong-kodong nabalik (gendang 5), pasilion (gendang 6), dan jangat (gendang 7, 8, dan 9). Juga dilengkapi ogung boru-boru (gong betina yang paling besar) dan ogung jantan yang ukurannya lebih kecil daripada ogung betina. 

Gordang Sambilan dilengkapi pula dengan doal (gong yang lebih kecil dari gong jantan), 3 buah salempong (,momongan), yaitu gong yang ukurannya lebih kecil lagi daripada doal. Ikut mendukung keharmonisan irama Gordang Sambilan alat musik tiup yang dibuat dari bambu, namanya sarune atau saleot. Tak ketinggalan pula sepasang sambal kecil yang diberi nama tali sasayat.

Gordan Sambilan disusun dari terkecil sampai dengan terbesar

Pagelaran Gordang Sambilan dipimpin oleh panjangati. Panjangan dan anggotanya 3 - 6 orang menabuh Gordang Sambilan dengan kayu. Saat menabuh gendang bukan sembarangan, tetapi ada aturan agar menghadirkan irama yang indah untuk mengiringi penari tor-tor.

Panjangat dalam memimpin perlehatan Gordang Sambilan berperan mengendalikan gendang yang paling besar. Selain itu, dia harus bisa menguasai ritmik setiap instrumen dan memiliki selera ritme yang tinggi. Beliau pun harus mampu memgolah nada ritme dari semua pola ritmik Gordang Sambilan.

Gordang Sambilan dipukul dengan kayu


Sekarang Gordang Sambilan kerap dimainkan untuk memeriahkan upacara pesta perkawinan (orja godang boru) dan upacara kematian (orja mambulung). Dahulu, kedua acara itu, karena untuk kepentingan pribadi harus terlebih dahulu mendapat izin dari pemimpin adat, yaitu Namora Natoras dan Raja Panusunan Bulung. 

Selain harus mendapatkan izin dari tokoh adat, penyelenggara acara harus pula membuat longit, yaitu penyembelihan seekor kerbau jantan dewasa. Permohonan izin itu dlangsungkan dalam musyawarah adat yang dinamakan Markobar Adat. 

Sarune dipadukan dengan Gordang Sambilan

Bersamaan dengan penggunaan Gordang Sambilan dalam acara adat, juga ditampilkan ornamen adat lainnya, seperti bendera adat (tonggol), dan payung raranagan. Konon pada masa penjajahan Belanda, Gordang Sambilan ditabuh sebagai pertanda perlawan kepada penjajah dan seruan terhadap warga untuk mengungsi, karena pasukan penjajah masuk ke desa mereka. 

Itulah secuil pengetahuan penulis tentang musik tradisional Gordang Sambilan. Semoga bermanfaat bagi kita, terlebih bagi generasi muda yang bakal menjadi pewaris kebudayaan kita.

Bagaimana peran kita melestarikan kesenian Gordang Sembilan terhadap generasi muda? Semoga semangat kita tidak lapuk dimakan masa untuk menunjukkan dan menanamkan rasa cinta musik tradisional itu kepada mereka. Ayo...sebisa kita melangkah!

# Dikutip dari berbagai sumber referensi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDAKI SERIBU ANAK TANGGA ZIARAH KE MAKAM SAHABAT RASULULLAH

KESEDERHANAAN SAID BIN AMIR

SEBUTIR PELURU