SEBUTIR PELURU

Cerpen

SEBUTIR PELURU

ORANG-orang di sekitar tempat tinggalnya, biasa memanggil pria tua itu, Pak Wardi. Sedangkan nama yang ditabalkan orang tuanya Mawardi. Usianya 65 tahun. Rambutnya total berubah status menjadi uban.

Sejak enam tahun yang lalu, dokter tanpa lewat sidang meja hijau menjatuhkan vonis menderita sakit darah tinggi, jantung, dan lever. Wajarlah beliau menderita penyakit tersebut, karena sepanjang hari - sejak bangun tidur sampai dengan tidur lagi - akrab dengan beberapa gelas air kopi dan puluhan batang rokok.

Tiga hari sudah penyakit jantung Pak Wardi kambuh. Puskemas, tempat berobat yang mampu dijangkaunya. Dokter memberikan obat berlabel generik. Lumayanlah, daripada tidak berobat sama sekali.

Pak Wardi sebenarnya tidak mau berobat lagi, karena keadaan ekonomi keluarganya sangat memprihatinkan. Beliau sudah memasrahkan deritanya kepada Allah Swt.

Di tengah belantara kota muncul sosok yang terbuka hati dan siap untuk mengulurkan tangannya kepada Pak Wardi. Pria berwajah putih itu bukan pejabat, bukan bankir, bukan pula anggota wakil rakyat. Beliau manusia biasa yang hanya menjalankan usaha dua unit mobil rental.

Sukri nama lelaki yang berbaik hati kepada Pak Wardi. Beliau ikhlas membiayai pengobatan Pak Wardi. Kemuliaan itu dilakukan sebagai apresiasi beliau kepada Pak Wardi yang dikenalnya sebagai veteran. Orang yang ikut angkat senjata mengusir penjajah dari bumi pertiwi.

Banyak veteran yang mendapat apresiasi berupa uang pensiun dari pemerintah. Namun Pak Wardi tidak mendapatkan itu, karena surat dokumen yang membuktinya veteran hilang sewaktu terjadi musibah banjir di kampungnya.

Pada masa itu, seandainya Pak Wardi punya uang dan mau mengurusnya tentu beliau akan mendapatkan dana pensiun juga. Namun beliau tidak menginginkannya, walaupun Sukri siap membantu Pak Wardi mendapatkan haknya.

" Apa arti kemerdekaan ini kalau semua urusan ditempuh lewat jalur uang? ", begitu kata Pak Wardi kepada Sukri.

" Kalau sampai akhir hayatku, persiun itu tidak keluar, biarlah! Aku ikhlas berjuang untuk negeri dan anak bangsa ", sambung Pak Wardi.

" Biarlah mereka menikmati kemerdekaan dengan kerakusan duniawi. Saya menikmati kemerdekaan dengan gelora dan semangat tidak pudar untuk merah putih " ucap Pak Wardi dengan semangat berapi-api, meskipun nafasnya tersengal-sengal.

**********
Pada tengah malam Pak Wardi mengerang kesakitan. Sakit jantungnya kumat lagi. Dia gelisah berbolak-balik menukar letak posisi tubuh tuanya yang kurus di atas rusbang. 

Tidak banyak yang dapat dilakukan keluarga dan tetangga untuk meringankan sakit Pak Wardi. Mereka hanya bisa memijat-mijat badannya. Sementara yang lain terdiam dengan hati terus berdoa kepada Allah Swt, agar Pak Wardi sembuh. Sementara Yanto, anak angkat Pak Wardi yang tinggal serumah dengannya tiada henti mengajari ayahnya melafazkan, Laaillahhaillallah Muhammadarrasulullah.

Secara fisik, apa yang telah dilakukan keluarga dan tetangga tidak memberikan hasil yang baik bagi kesehatan Pak Wardi. Malah kondisinya semakin kritis. Wajah pesimis memenuhi ruang rumah semi permanen itu.

Tidak lama kemudian wajah Pak Wardi pucat dan badannya dingin. Semua ototnya kaku menegang. Tunai sudah kisah hidupnya sebagi khalifah di muka bumi. 

Pada malam yang dingin dan beku, Pak Wardi kembali menghadap Khaliknya. Usai tugasnya memutar roda kehidupan di dunia. Innailaihi Wainnailahi Rojiun.

Dia tidak akan pernah lagi berada di antara kita. Dia tidak akan lagi mendengar dan melihat koruptor yang bangga dengan kekayaannya. Dia tidak lagi menikmati kemerdekaan yang telah disuguhkan kepada anak bangsa. Dia pergi dengan senyum, karena tidak satu rupiah pun uang rakyat dan negara mengalir di dalam darahnya.

Ketika pemakaman Pak Wardi tiada letusan tembakan sebagai penghormatan terakhir kepada seorang pahlawan. Tdak ada barisan karangan bunga sebagai ungkapan turut berdukacita. Yang ada lantunan ayat Quran dan doa yang mengiringi jenazahnya dimakamkan.

**********
Dua hari sebelum meninggal, Pak Wardi menitipkan sebuah amanah kepada anak angkatnya, Yanto. Amanah yang diterima Yanto itu bungkusan kain hitam yang terikat rapat 

Yanto tidak tahu sama sekali apa isi bungkusan itu. Didorong kuat oleh rasa penasaran, lima hari setelah kepergian Pak Wardi, Yanto nekad membuka bingkusan itu.

Santo mengajak emak angkat dan istrinya membuka bungkusan itu. Mereka saling berpandangan setelah tali ikatannya terlebas dari bungkusan.

" Bismillah Hirrahmanirrahim " ucap Yanto ketika membuka mulut bungkusan.

" Astaqfirullah " ucap Yanto lagi setelah melihat isi bungkusan itu.

" Kenapa, Bang? ", tanya Maya, istri Yanto.

" Ternyata isinya sebutir peluru dan secark keryas " kata Yanto merasa aneh.

Yanto membaca tulisan tangan yang terdapat di lembar kertas bergaris yang sudah kusam.

Ya, warisan ini hanya sebutir peluru yang tersisa sewaktu perang gerilya. Ayah menyimpan dan merawatnya untukmu.

Ingat, anakku, ini bukan warisan ayah. Tapi peluru itu punya kisah yang perlu kau ketahui. 

Ada pengkhianat yang menyaru di dalam pasukan yang ayah pimpin. Akibat pengkhianatan.mereka banyak rakyat dan anggota pasukan ayah yang gugur ketika melakukan penyerangan ke markas musuh.

Ayah menanam amarah kepada mereka. Kami mengetahui pengkhianat itu, orang-orang yang dalam keseharian berbicara tentang perjuangan untuk membela dan memerdekakan rakyat dari kemiskinan. Ucapan dan tidakannya bermuka dua.

Siapa pun mereka pada masa tidak pandang nilai rasa, jika telah melakukan pengkhianatan terhadap perjuangan bangsa harus mendapat hukuman yang setimpan.

Anakku, peluru yang tersisa ini untuk ditembakkan persis mengenai kening pengkhianat kemerdekaan. Namun ayah tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan itu.

Sekarang saatnya kau yang harus menembakkannya ke kening pengkhianat kemerdekaan dan rakyat. Jika kau tak mampu lanjutkan kepada anakmu. Jangan kotori jiwa kemerdekaan dengan kealpaan.

" Mungkinkah pesan ayah dapat terjadi? ", tanya Yanto kepada istrinya.

" Ayah ", tiba-tiba anak Yanto yang sulung menghampiri.

Yanto membelai rambut anak laki-lakinya yang berusia lima tahun itu.

" Cepatlah besar anakku. Bukti pesan kakek " bisik Yanti ke telinga anaknya. 

Anak kecil itu hanya menoleh sekilas kepada wajah ayahnya. Wajah yang telah lelah menata jalan hidup yang berliku di atas beca bermotornya.

Kedai Durian, Kamar Sepiku, 1 Agustus 1991.
Harian Analisa, Cerpen Minggu, 10 Oktober 1991

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDAKI SERIBU ANAK TANGGA ZIARAH KE MAKAM SAHABAT RASULULLAH

KESEDERHANAAN SAID BIN AMIR