KEMBALI KEPADA JANJI HATI


Pahrus Zaman Nasution berjibaku dengan dunia kepenulisan demi memenuhi biaya pendidikan di perguruan tinggi. Keterlenaan di dunia penulisan, tidak lalai memenuhi janji menjadi seorang guru.

Sejak tamat dari SMA UISU, Medan tahun 1985 tekadku telah untuk menjadi seorang guru. Lewat ajang Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) aku berkompetisi dengan ribuan calon mahasiswa di IKIP negeri Medan. Dua jurusan yang kupilih geografi dan sejarah.

Sewaktu SMA kedua pelajaran itu menjadi favoritku, sehingga aku tetap mendapat nilai terbaik. Begitu juga NEM (Nilai Ebtanas Murni) kedua pelajaran itu sangat meyakinkan. Namun, aku gagal diterima di IKIP Negeri, Medan. Kandas asa.

Bukan aku tidak mau kuliah di Perguruan Tinggi Swasta (PTS), tapi aku sadar diri keadaan ekonomi kedua orang tuaku. Ayahku hanya seorang fotografer, sedangkan emakku memang seorang guru Agama Islam berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang gajinya masih rendah pada era itu. Apalagi aku dan adik-adikku enam orang bersaudara yang semua masih bestatus pelajar. Aku menggantung harapan di atas waktu yang berjalan.

Dua tahun kemudian, PGSD IKIP Negeri, Medan menggelar penerimaan mahasiswa baru angkatan kedua. Peminatnya sangat banyak, karena setelah tamat pendidikan dua tahun, otomatis diangkat menjadi guru SD berstatus PNS. Aku mendaftar menjadi satu di antara peserta tes angkat kedua itu. Aku harus bersabar lagi. Namaku tak tercantum dalam lembar pengumuman. Aku nyaris putus asa. Tidak ada lagi niat di hati untuk kuliah dan menjadi guru.

Kualihkan perjalanan menerobos dunia tulis menulis. Bakat ini telah mengaliri darahku sejak masih duduk di bangku SMA. Aku menulis opini, cerpen, dan puisi diberbagai suratkabar; Waspada, Analisa, Mimbar Umum, Sinar Pembangunan (sekarang Medan Pos), Garuda, Bukit Barisan, Barisan Baru, Radar Medan, SInar Indonesia Baru, Dobrak, Taruna Baru, Persada, Majalah Dunia Wanita, dan Harian Pelita, Jakarta.

Asik dan menyenangkan menjadi penulis di media cetak. Aku terbuai dengan dunia tulis menulis. Aku dapat menyalurkan ide-ide yang bermunculan di kepala. Tidak cuma itu, aku pun mendapat honor dari tulisan yang diterbitkan. Jumlahnya lumayan untuk anak lajang seperti aku. Aku bisa menabung dan membeli sepeda motor baru Suzuki Shogun 110 yang tergolong mahal saat itu, karena dunia tengah dilanda resesi ekonomi.

Aku sudah melupakan dunia kampus dan cita-cita menjadi guru. Pikiran dan hati rutin untuk dunia kepenulisan. Muncul pula hasrat untuk menjadi wartawan. Profesi itu mulai kurintis di Harian Mimbar Umum, Medan. Abangda Drs.H.Sazli Effendy Nasution, salah seorang wartawan senior koran tersebut merekomendasi aku menjadi reporter surat kabar Mimbar Umum, Medan.

Tahun berikutnya aku menjadi reporter lepas di Majalah, Koran Masuk Desa, dan Koran Masuk Sekolah " Dunia Wania ". Berkiprah di media yang satu perusahaan dengan Harian Waspada ini menambah jam terbangku di dunia jurnalistik semakin tinggi. Sang redaktur, bang Effendy  Panggabean dan Rudhy Faliskan kerap menugaskan aku meliput berbagai acara.

Aku merasa nyaman berkiprah dengan dunia kepenulisan dan jurnalistik. Sangat bahagia dan membanggakan. Betapa tidak, aku yang belia, baru dua tahun tamat SMA dipercayakan redaktur meliput wisuda sarjana di gelanggang mahasiswa USU, sehingga dapat memotret para petinggi USU, perkemahan Pramuka Penggalang tingkat nasional yang pertama di Bumper Sibolangit yang dibuka oleh menteri dan diikuti utusan dari setiap provinsi seluruh Indonesia.

Aku juga ditugasi meliputi kunjungan Menteri Pernanan Wanita di Pancur Batu, pemeran buku dan budaya Islam di kompleks Masjid Agung, Medan, pembukaan Pekan Raya Sumatera Utara oleh menteri di lokasi yang lama (Medan Fair), meliput berita keberhasilan RSU Permata Bunda, Medan mengoperasi seorang perempuan yang mengidap kanker seberat 9 kg daging di dalam perutnya, peliputan rutan wanita, keberangkatan jamaah haji, dan sebagainya.

Pengalaman itu meninabobokan aku di dunia jurnalistik. Dengan kata lain, amat membanggakan menjalani profesi jurnalistik. Betapa tidak, proses untuk meliput sebuah berita terkadang banyak likunya pada masa lalu. Keberhasilan melewati liku dan menyuguhkan berita  itulah sebuah kebanggaan. 

Bertemu Guru Waktu SMP

Suatu hari, aku meliput acara kegiatan siswa SMA UISU, Medan. Kesempatan itu kumanfaatkan untuk reuni dengan guru-guru yang mendidik dan mengajarku semasa SMA. Alhamdulilah mereka menyambutku dengan baik dan ramah.

Sangat tidak aku duga, aku juga bertemu dengan Drs.H.Amhar Nasution. Sekarang beliau muballig tingkat Sumatera Utara. Pak Amhar guru pelajaran matematikaku ketika masih di SMP YPI, Delitua masih kenal dan ingat denganku. Memang beliau sering memberikan bimbingan kepadaku ketika masih SMP. Bukan aku anak badung...lho, tapi bimbingan agar aku berprestasi.

Melihat guru-guru di SMA UISU, entah mengapa tiba-tiba kembali muncul gairah dan semangat cita-cita menjadi guru yang telah terkubur sekian tahun. Lalu aku ceritakan keinginan itu kepada Drs.H.Amhar Nasution. Beliau memberikan energi positif kepadaku untuk kembali menyusuri jejak langkah yang terhenti.

Tahun 1992 aku mendaftar menjadi mahaiswa FKIP UMSU, Program Study Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Aku memilih prody itu, karena aku suka sastra dan sudah kujalani lima tahun berkutat dengan kepenulisan.

Empat setengah tahun kunikmati perkuliahan dengan dinamikanya. Tahun 1997 aku diwisuda menjadi sarjana dan meyandang gelar Sarjana Pendidikan. 

Setelah menyandang gelar Sarjana Pendidikan, aku merasa tertantang untuk kembali kepada janji hati. Janji menjadi guru bagi anak-anak masa depan. Mengubah anak negeri menjadi lebih tahu dan lebih baik.

Alhamdulillah, tahun 1997 - 2000 aku diterima dan dipercaya menjadi guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di SD, SMP, dan SMA Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Delitua. Bahkan aku diangkat menjadi PKS SMA YPI, Delitua. Tugas yang kuemban tidak mudah dan ringan. Butuh kosentrasi dan banyak waktu.

Aku terjebak dalam dunia pilihan; melanjutkan profesi sebagai jurnalis atau memulai berkiprah cita-cita yang sudah lama memenuhi nurani? Aku memang harus kembali ke janji hati. Aku memilih menjadi guru. Dunia jurnalistik otomatis aku permisi istirahat. Namun tidak mati total, Pak H. War Djamil, redaktur ruang Pramuka, Harian Analisa mengizinkan aku menulis berita aktivitas gerakan Pramuka, khususnya di kota Medan.

Ketekunanku menulis artikel dan berita aktivitas Pramuka di rubrik Pramuka, Harian Analisa, Kwarda Sumatera Utara mengapresiasinya. Kwarda Sumatera Utara memberikan piagam penghargaan.

Piagam penghargaan dari Kwarda Sumut

Tahun 2000 surat permohonanku menjadi guru di sekolah naungan Yayasan Kemala Bhayangkari Daerah Sumatera Utara ditanggapi. Aku ditelepon staf yayasan dan ditugaskan menjadi guru di SD Kemala Bhayangkari 1, Medan.

Aku dan guru- guru SDKB 1 Medan


Gedung SDKB 1 Medan

Menurut staf yayasan yang mewawancaraiku, aku diterima di yayasan tersebut, karena aku dinilai dari referensi tulisan-tulisanku yang kulampirkan dalam berkas permohonan menjadi guru. Sampai sekarang aku terus aktif dan berkiprah untuk kejayaan dan kemajuan SD Kemala Bhayangkari 1, Medan.

Jauh sudah perjalananku membentangkan cahaya matahari untuk anak negeri. Banyak sudah nama-nama siswaku yang dulu kuajak bercerita di depan kelas, kini tak kuingat lagi. Banyak wajah-wajah siswaku yang dulu kuhadiahi senyum, kini tidak kukenal lagi.

Sapalah dan tersenyumlah kepadaku, biar kutahu engkau bocah imut yang membuatku gemas bila tidak menyiapkan pekerjaan rumah. Tapi aku tidak pernah mencubit pipimu, kecuali menyentuh maumu dengan sebuah kata, "belajarlah!"

Kini, aku telah tua. Jila kutanya raga, tidak mampu berpeluh lagi. Jika kutanya nurani, tak kuingin berlabuh. Terus berlayar menyusuri debur samudera.

Aku manusia biasa yang tidak luput dari ruang kealpaan. Namun aku tidak pernah menoleh jalan di belakang. Aku bangga menjadi guru. Aku senang menjadi guru SD. Aku bahagia menjadi guru SD Kemala Bhayangkari 1, Medan. (pzn)***



Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDAKI SERIBU ANAK TANGGA ZIARAH KE MAKAM SAHABAT RASULULLAH

KESEDERHANAAN SAID BIN AMIR

SEBUTIR PELURU