Postingan

REMBULAN DAN BINTANG BERCAKAP DENGANKU

Gambar
Cerpen AKU sangat ambisius untuk duduk menjadi anggota DPRD Provinsi Seribu Pulau. Jujur saja! Keambisiusanku menjadi anggota dewan karena termotivasi dapat bekerja dengan ringan dan mudah. Datang, duduk, dengar, dan  dengkur. Kemudian setiap bulan mendafat gaji dan fasilitas puluhan juta rupiah. Ditambah lagi rumah, mobil dan plesiran sambil reses.  Aku sangat ambisius untuk menjadi anggota DPRD Propinsi Seribu Pulau. Sebenarnya dapat dipastikan aku tidak terpilih menjadi anggota dewan. Lantaran aku berada di posisi nomor urut kedua dalam daftar pencalonan. Sementara di daerah pemilihanku, PPR (Partai Pembela Rakyat) hanya memperoleh jatah satu kursi sesuai dengan jumlah suara yang memilih partaiku. Nomor urut pertama, Bang Rendy yang pasti lolos menjadi anggota dewan.  Kecewa dan marah menyesak di dada dan kepala. Akan tetapi bila Allah berkehendak semuanya bisa terjadi kapan dan di mana pun. Bang Rendy yang berada di urut nomor satu, meninggal dunia, karena kecelakaan. Otomatis aku

PESAN DARI TANAH SUCI

Cerpen HARI pertama kepulangan Sumarni dari tanah suci, Makkah menunaikan ibadah haji, dari pagi hingga malam hari silih berganti keluarga, tetangga, dan kerabat datang ke rumahnya mengucapkan selamat kepadanya. Ironisnya, pasangan Alamsyah dan Sumarni tidak menyuguh air zamzam dan kurma kepada para tamu. Padahal buah tangan khas dari Makkah sangat diharapkan warga untuk meneguknya, walaupun sedikit. Bukan pasangan suami istri itu pelit. Akan tetapi, Sumarni tidak seperti teman sekeloternya yang banyak membawa oleh-oleh dan berderigen-derigen air zamzam. Beliau tidak pernah terbebani untuk membawa pulang buah tangan. Niatnya berhaji hanya satu, ikhlas karena Allah. Kepulangan Sumarni kembali ke tanah air hanya membawa utuh eksistensinya sebagai seorang hajjah.  "Mar, kamu memang tidak membawa air zamzam dan kurma dari Makkah?" Tanya Alamsyah yang belum pernah ke Makkah. Sumarni tidak langsung menjawab pertanyaan suaminya. Sumarni duduk di atas tidak sembari membantu Sabariah,

TRAGEDI TOPO

Gambar
Cerpen SIAPA yang tidak mengenal pria berbadan ceking dan berambut gondrong awutan? Banyak penulis muda dan kaum muda yang mengenal dan mengaguminya. Topo namanya. Dia terkenal setelah berkali-kali cerpennya terbit di majalah idola remaja. Kepopuleran Topo tidak pernah membuatnya sombong dan angkuh. Topo yang ramah dan sederhana tetap menjadi identitasnya sehari-hari. Akan tetapi amat disayangkan, kini Topo kehilangan dirinya. Dia lupa dengan eksistensi dirinya. Seakan Topo tak pernah lahir di bumi. Topo tak mau tahu lagi dengan kepopulerannya. Juga tidak mau peduli dengan cerpen. Sekarang yang diketahuinya rokok, alkohol, ganja, dan morfin. Topo telah bersekutu dengan penghancur masa depannya. Padahal dahulu, semua itu musuh baginya. Bahkan dalam cerpennya Topo pernah bercerita tentang kekejaman benda terlarang itu. Semua pengagum Topo hanya menaruh rasa kasihan dan prihatin kepadanya. Namun tak seorang pun yang berusaha untuk mengajaknya bangkit kembali dari kehancuran. Orang-orang h

JANGAN JUAL SEKOLAH KAMI

Gambar
Cerpen HAJJAH Rayati,  Kepala SD Negeri Sukamaju berdiri di belakang jendela ruang kerjanya yang terbuka lebar. Dipandangnya ratusan siswa yang berhamburan keluar dari kelasnya masing-masing, setelah bel jam pelajaran terakhir berbunyi. Setelah siswa terakhir meninggalkan areal   sekolah, yang berada di pinggir Jalan Kelurahan Sukamaju, barulah perempuan berkacamata minus itu kembali duduk di kursi di belakang meja kerjanya.   Pikiran guru yang telah 25 tahun berbakti di dunia pendidikan, sedang kacau dan risau. Bukan dilema keluarga yang menggerogoti bathinnya. Bukan pula karena ditunda kenaikan pangkat dan golongannya. Kecamuk yang menggayut bathin dan pikirannya setelah dua orang pria berbadan besar menemuinya, dua hari yang lalu. Kedua orang pria yang mengaku sebagai staf di kantor kelurahan, bukan untuk menagih pajak bumi dan bangunan. Mereka datang membawa dan menunjukkan belas lembar surat yang ditandatangani oleh lurah. Isi surat itu menyatakan telah dibangun gedung baru SD Neg

MENGAKHIRI NOMADEN

Gambar
Cerpen LAHAN yang dapat kujadikan ladang untuk menanam pohon bernama asa, terbentang luas. Bibit pohon pun sudah terbungkus rapi dalam plastik jiwa. Akan tetapi hatiku menyimpan tanya, akankah aku mampu mengolah tanah dan menyemai bibit? Akankah bibit yang kutanam tumbuh dengan subur dan berbuah? " Pertanyaanmu tidak membutuhkan jawaban. Jangan menunggu! Mulailah mencangkul tanah!,"  kata ayahku ketika beliau melihatku memegang cangkul. Sejak itu, cangkul tersebut kujadikan sahabat. Dia setia membantuku menggali tanah sekeras apapun. Jasanya besar sekali. Puluhan ribu ton buah dan pohon asa telah kunikmati. Waktu mengalir bagai air. Terus dan terus berjalan menuju muara. Kalau pada awalnya, enam belas tahun silam aku memanfaatkan lahan seluas satu hektar, kini pindah ke lahan yang lebih luas, lima hektar. Yang kutanam tidak hanya bibit pohon asa jenis T1 saja, tapi bervariasi T2, T3 sampai dengan T10. Memang melelahkan, tapi apa mau dikatakan aku keranjingan atau kemaruk. Has

MIMPI POLITIKUS

Gambar
Cerpen WAKTU ayahku menjadi politikus partai peserta pemilu, aku dikadernya untuk menggantikan beliau. Loyalitasku kepada partai tidak disangsikan lagi. Betapa tidak, darah, tulang, dan keringat rela kukorbankan untuk partai. Tujuan berpartai untuk menengakkan denokrasi dengan benar. Namun niatku, hanya isapan jempol. Banyak orang berpartai yang saling sikut untuk  mendapatkan kursi pimpinan partai. Politik uang, dan adu domba menggila saat pemilihan ketua partai. Aku benci. Aku marah. Aku kehilangan warna. Gelombang itu mengikis habis kepercayaan dan kecintaanku kepada partai. Semuanya kubuang ke laut. Kutinggalkan partai. Masabodo dengan partai. Ayahku yang sudah puluhan tahun malang melintang di partai, didepak. Sedikit pun tidak ada apresiasi yang mereka berikan kepada ayahku. Sungguh mengecewakan. Kini, jelas bagiku, bahwa tujuan mereka hanya untuk mengejar kedudukan sebagai anggota DPR. Lalu meraup kekayaan. Gelombang itu mengikis habis kepercayaan dan kecintaanku kepada partai.

LAMARAN MANTAN NAPI

AKU tidak mengerti, mengapa lelaki berperawakan kekar dan tinggi, bernama Marno itu datang bertamu ke rumah kami. Padahal selama ini hubungan keluargaku bersikap acuh terhadap pria yang baru sekitar tiga bulan meninggalkan terali besi. "Apa maunya datang ke rumah kami?" Tanya hatiku sembari mengawasi setiap gerak-gerik. "Apakah strategi untuk memperhatikan situasi rumah kami, agar mudah melakukan pencurian?" Prasangka negarif memenuhi hatiku. Yang membuatku semakin penasaran, mengapa ayahku sangat dekat dan akrab dengannya? Seolah-olah mereka pernah menjalin persahabatan yang amat intim. "Ratih, apa yang kau lakukan di situ?" Pertanyaan ibuku membuatku tersentak kaget. "Marna yang baru bebas dari penjara itu datang bertamu ke rumah kita," kataku. "Mau apa dia?" Tanya ibu. "Ayah-lah yang tahu, bu." "Jangan...jangan," kata ibu dengan wajah penuh cemas. "Jangan...jangan dia mau mencuri di rumah kita. Ya kan, bu?&qu