MENGAKHIRI NOMADEN

Cerpen

LAHAN yang dapat kujadikan ladang untuk menanam pohon bernama asa, terbentang luas. Bibit pohon pun sudah terbungkus rapi dalam plastik jiwa. Akan tetapi hatiku menyimpan tanya, akankah aku mampu mengolah tanah dan menyemai bibit? Akankah bibit yang kutanam tumbuh dengan subur dan berbuah?

"Pertanyaanmu tidak membutuhkan jawaban. Jangan menunggu! Mulailah mencangkul tanah!,"  kata ayahku ketika beliau melihatku memegang cangkul.

Sejak itu, cangkul tersebut kujadikan sahabat. Dia setia membantuku menggali tanah sekeras apapun. Jasanya besar sekali. Puluhan ribu ton buah dan pohon asa telah kunikmati.

Waktu mengalir bagai air. Terus dan terus berjalan menuju muara. Kalau pada awalnya, enam belas tahun silam aku memanfaatkan lahan seluas satu hektar, kini pindah ke lahan yang lebih luas, lima hektar.

Yang kutanam tidak hanya bibit pohon asa jenis T1 saja, tapi bervariasi T2, T3 sampai dengan T10. Memang melelahkan, tapi apa mau dikatakan aku keranjingan atau kemaruk. Hasilnya pun, baik segi moral maupun material cukup menjanjikan.

Atas keberhasilan tersebut sekalipun badanku kian ceking dan kesehatanku menurun. Namun ambisimu semakin menggila untuk memperluas lahanku berladang. Hampir setiap hari aku berkeliling kampung mencari tanah kosong yang subur. Begitupun aku selalu selektif. Aku tak asal beli lahan tanah. Sebelum kuputuskan untuk dibeli, aku rela bersibuk-sibuk mencari tahu keberadaan tanah tersebut.

Oya...sistem bertani yang kujalan bersifat nomaden. Berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Bertani nomaden itu sudah mentradisi di lingkungan penduduk desaku. 

Tiap kali membuka lahan baru, ratusan, bahkan ribuan batang pohon pemagar hutan harus ditebang. Perlakuan seperti itu sangat bertentangan dengan nuraniku. Tindakan tersebut menghancur sebaris warisan untuk generasi mendatang. Tapi apa boleh buat, setiap perjuangan memang harus ada yang berkorban, dikorbankan, dan terkorbankan.

Lahan ladangku yang sekarang bukan lahan yang baru dibuka. Lahan itu pernah kugunakan, tapi beberapa waktu terbengkalai. Namun sekarang aku senang dan betah berlama-lama. Aku merasakan warna kesejukan dan kenyamanan di lahan tersebut. Aku enggan meninggalkannya. Ingin kumiliki selamanya, sehingga memunculkan gerak bathin untuk mengakhiri nomaden.

"Woi!"  Panggilku kepada seorang lelaki, teman dekatku.

Woi yang memunggungiku cepat berputar arah menghadapku. Dia pun mendekatiku. Kemudian entah datang dari sisi mana, tiba-tiba Woi sudah berdiri di jiwaku.

"Aku tahu, kau mau meninggalkan nomaden," kata Woi.

"Kau setuju? " Tanyaku.

"Mengakhiri nomaden berarti melanggar tradisi. Kenekatanmu akan dicaci. Sok idealis," Woi mulai mengumpat.

"Aku tidak peduli. Aku bosan dengan nomaden."

"Ingat, Rus, bila kau mengakhiri nomaden, pasti hasil panenmu akan berkurang," Woi mengingatkan.

Woi berjalan pelan meninggalkanku. Segera kuikuti langkahnya. Aku berhasil meraih tangannya. Dia tersenyum kepadaku. Aku senang sekali melihat dia tersenyum.

"Kau benar tidak mengizinkan aku mengakhiri nomaden?" Tanyaku.

Woi tersenyum lagi.

"Sobat, bukan aku tidak setuju. Aku khawatir kau tak mampu konsekwen dengan keinginanmu."

Aku terdiam sejenak.

"Yakinlah, Woi, aku bisa konsekwen. Aku pastikan, aku mengakhiri nomaden. Lahan yang ada di mataku cukup untukku."

"Bila keputusanmu sudah final, aku setuju. Kalau aku boleh tahu, apa motivasimu mengakhiri nomaden?" Tanya Woi.

Kutarik tangan Woi, agar lebih mendekat denganku.

"Lihat ladangku hasil nomaden, banyak ditumbuhi jenis pohon. Hasilnya memang banyak, tetapi kurang berkualitas. Aku ingin menanam pohon asa dari satu jenis bibit unggul, biar kulitasnya baik."

"Aku capek berladang nomaden. Tidak ada waktuku untuk menikmati angin dan debur laut. Setiap hari kerjaku memperhatikan mulai dari akar sampai dengan daun pohon," sambungku.

Woi masih tetap diam. Entah apa yang tertanam di pikiran dan benaknya.

"Berladang nomaden pun mengakibatkan bibit pohon asaku tercecer. Dengan mengakhir nomaden aku akan menjadi petani handal, walaupun tak pernah berdasi."

Aku dan Woi saling diam. Sesekali desir angin memainkan rambutku yang belum dipangkas.

"Tapi Woi, ada hal lain yang mengharuskan aku mengakhiri nomanen ini," kataku membuka sepi.

"Apa?"  Tanya Woi ingin tahu.

"Ini rahasia. Siapapun tidak boleh tahu. Cukup kau dan aku yang tahu," kataku memvonis.

Woi memperhatikan sekeliling kami.

"Aku siap menyimpan rahasia. Katakanlah! Tak ada orang lain di sini," desak Woi.

"Tidak bisa kukatakan secara terbuka, karena alam ini mempunyai telinga. Mereka tidak boleh tahu! Aku takut mereka akan menyebarkannya ke suara dunia."

"Lalu bagaimana aku mengetahuinya?" Tanya Woi yang mulai penasaran.

"Dekatkan telingamu ke mulutku. Aku bisikkan."

Woi menuruti permintaanku.

"Begitu?" Tanya Woi heran setelah kubisikkan sesuatu.

"Pasti!," jawabku meyakinkan.

"Cocoklah itu!" Balas Woi.

Segera kurangkul Woi dengan erat. Kami berjalan mengikuti sinar matahari. (Suka Makmur, Kamar Sepiku, 5 Agustus 2001 - A.K,251001) ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDAKI SERIBU ANAK TANGGA ZIARAH KE MAKAM SAHABAT RASULULLAH

KESEDERHANAAN SAID BIN AMIR

SEBUTIR PELURU