PESAN DARI TANAH SUCI

Cerpen

HARI pertama kepulangan Sumarni dari tanah suci, Makkah menunaikan ibadah haji, dari pagi hingga malam hari silih berganti keluarga, tetangga, dan kerabat datang ke rumahnya mengucapkan selamat kepadanya. Ironisnya, pasangan Alamsyah dan Sumarni tidak menyuguh air zamzam dan kurma kepada para tamu. Padahal buah tangan khas dari Makkah sangat diharapkan warga untuk meneguknya, walaupun sedikit.

Bukan pasangan suami istri itu pelit. Akan tetapi, Sumarni tidak seperti teman sekeloternya yang banyak membawa oleh-oleh dan berderigen-derigen air zamzam. Beliau tidak pernah terbebani untuk membawa pulang buah tangan. Niatnya berhaji hanya satu, ikhlas karena Allah.

Kepulangan Sumarni kembali ke tanah air hanya membawa utuh eksistensinya sebagai seorang hajjah. 

"Mar, kamu memang tidak membawa air zamzam dan kurma dari Makkah?" Tanya Alamsyah yang belum pernah ke Makkah.

Sumarni tidak langsung menjawab pertanyaan suaminya. Sumarni duduk di atas tidak sembari membantu Sabariah, asisten rumah tangga mengumpulkan kemasan minuman ringan yang telah kosong.

"Apa yang abang tanya? Buah tangan?" Balik Sumarni bertanya. Alamsyah hanyak mengangguk pasti.

"Sebaiknya yang abang tanyakan, apakah aku merindukan abang di sana?" Pancing Sumarni.

"Maaf ya, bang hanya bercanda," sambung Sumarni. "Aku ada membawa buah tangan, tapi hanya segelas air zamzam, tasbih, dan sajadah," lanjut Sumarni.

"Untuk siapa?" Tanya Alamsyah ingin cepat mengetahui jawabannya.

"Semuanya untuk abang."

"Untuk aku? Mengapa hanya untuk aku? Tidak, Mar! Aku belum bisa menerimanya," ujar Alamsyah dengan sedikit marah.

"Semua orang pasti senang mendapat air zamzam, tasbih, dan sajadah yang dibawa langsung dari Makkah. Kok...abang malah menolak?"

"Abang belum layak menerimanya. Berikan kepada orang yang pantas," kata Alamsyah beralasan seraya masuk ke kamar tidur.

Dengan tenang dan sabar Sumarni mengikuti suaminya masuk ke kamar timur. Dia tahu betul karakter suaminya, walaupun usia pernikahan mereka baru tiga tahun.

Malam berselimut sahdu. Alamsyah dan Sumarni menepikan gemerisik hati. Peluk dan belai memenuhi ranjang setelah sebulan tidak bersama. Keduanya lelah dalam nafas cinta, dan terlelap dalam mimpi.

Menjelang subuh Sumarni terbangun. Setelah membersihkan tubuh, dia sholat Tahajjud. Sementara suaminya masih terlelap dalam tidur.

"Bang, mandilah dan sholat," kata Sumarni menggoyang kaki suaminya ketika terdengar suara azan dari menara masjid.

"Sudah subuh, bang," kata Sumarni. Alamsyah hanya menggeliat dan menarik selimutnya.

"Ayo...sholat, bang!"

"Duluanlah!" Balas Alamsyah tanpa membuka matanya.

Sumarni tidak mau memaksa suaminya untuk mengubah kealpaannya. Namun dia tidak pernah lelah mendoakannya dan memberikan wejangan yang terbaik untuk suaminya.

*****

Seperti biasa, Sumarni menemani suaminya sarapan. Nasi putih, lauk pauk, dan teh manis hangat terhidang di atas meja makan. Namun yang berbeda pada pagi itu. Tersaji air putih bening di dalam gelas kecil persis di hadapan Alamsyah.

"Air apa ini?" Tanya Alamsyah.

"Pesan dari tanah suci," jawab Sumarni.

"Maksudnya?"

"Sejarahnya panjang! Air itu muncul ke permukaan bumi dalam kehausan seorang balita dan perjuangan seorang ibu yang berusaha mendapatkan air untuk melepaskan dahaga anaknya di tengah gurun pasir yang terik," Sumarni mengisahkan.

"Balita menggosok-gosokkan kakinya di atas pasir, atas izin Allah keluarlah air itu. Kaki anak kecil suci. Air itupun suci,"

"Zamzam?" Sebut Alamsyah.

"Bukan air hasil galian manusia. Air yang terbit dari bekas tempat bayi suci, Nabi Ismail AS menggosok-gosokkan kakinya,"

"Zamzam bukan hanya sebagai air pelepas dahaga. Zamzam dapat mengalir memasuki urat, otot, hati, dan darah sebagai air pembersih dari kealpaan," sambung Sumarni.

Usai sarapan, tidak setetes pun air zamzam diteguknya. Dia berangkat bekerja ke kantornya. Sumarni tetap bertahan dengan kesabaran atas sikap suaminya.

*****

Menjelang maghrib, Sumarni membentang sajadah yang dibawanya dari Makkah di kamar mereka. Dia duduk di atas sajadah menanti kumandang azan dan suaminya yang masih mandi.

"Bang, ini sajadah dan tasbih yang awak bawa dari Makkah. Kita sholat berjamaah, ya," ajak Sumarni.

"Sholat berjamaah?"  Ulang Alamsyah bertanya.

"Sholat itu mencegah dari perbuata  keji dan mungkar, bang."

Alamsyah tidak merespons wejangan dari istrinya. Dia keluar dari kamar. Tanpa merasa berdosa, sembari bersiul kecil dinikmati sajian musik di televisi. Begitupun, Sumarni masih tetap membenam sabar di lubuk hatinya terhadap sikap suaminya.

"Bang, kita sangat menginginkan kehadiran anak. Kita sudah berusaha maksimal, tapi abang belum pernah berdoa dan zikir kepada Allah," Sumarni menggugah hati suaminya saat menjelang tidur.

"Abang sudah lama jauh dari Allah," sambung Sumarni. "Abang terlalu sibuk dengan duniawi. Ingat, bang, kapan dan di mana pun mati itu bisa datang."

"Pekerjaan dan uang tidak membantu kita di alam kubur dan akhirat."

Hati Alamsyah tersentuh mendapat wejangan dari istrinya. Pandangannya menerawang mencari jejak dosa yang dibuatnya. Muncul detak sesal dalam bathinnya.

"Kejadian yang kita rasakan saat menunaikan ibadah haji merupakan balasan atas perbuatan yang kita lakukan selama ini,"

"Kebajikan dibalas Allah dengan kebaikan. Begitu pula sebaliknya. Yang suka berbuat mungkar dibalas Allah dengan yang ketidakbaikan. Ini pesan dari tanah suci, bang," kata Sumarni dengan suara lembut.

"Sebelum kita menikah sudah abang cerita kepadamu, bahwa abang pernah melakukan zina dengan Rosa, sehingga hamil. Kemudian abang memaksanya melakukan aborsi, yang menyebabkan dia meninggal," 

"Abang menyesal, Mar. Begitu banyak dosa harus abang pikul. Berzina, membunuh ibu dan anaknya. Ya...Allah, ampunkan hamba," dengan spontan ucapan itu meluncur dari mulut Alamsyah.

"Mar, abang bukan terlena dengan kealpaan. Ada tekanan di dalam bathin, akankah Allah mengampun dosa abang?"

"Allah Maha Pengampun, bang. Ampunan Allah untuk hambaNya yang bertaubat seluas langit dan bumi. Lebih banyak ampunan Allah daripada dosa kita," Sumarni memberikan pencerahan.

"Lihat Marni, bang! Awak muallaf, tapi yakin Allah akan mengampun dosa pada masa yang lalu," tambah Sumarni memberi perbandingan.

"Jadi?" 

"Allah memberi kesempatan kepada abang untuk bertaubat. Istiqfar!"

Alamsyah merangkul istrinya erat sekali. Air matanya jatuh membasahi pipinya. Sumarni turut larut dalam rangkuman sedih dan bahagia.

"Mar, kamu lebih baik daripadaku. Seharus abang yang membimbingmu,"

"Abang yang terbaik! Ajakan abang menikahiku mengantarkan Marni mendapat hidayah memeluk agama Islam,"

"Kita berjalan, bang menuju Surga Allah."

"Aamiin ya, Allah. Astafirullah halaziim," ucap Alamsyah seraya mengusapkan kedua tangan ke wajahnya.

"Alhamdulillah ya, Allah," ujar Sumatni seraya sujud syukur kepada Allah di hadapan Alamsyah.

Analisa, Medan, 24 Pebruari 2003

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDAKI SERIBU ANAK TANGGA ZIARAH KE MAKAM SAHABAT RASULULLAH

KESEDERHANAAN SAID BIN AMIR

SEBUTIR PELURU