MIMPI POLITIKUS

Cerpen
WAKTU ayahku menjadi politikus partai peserta pemilu, aku dikadernya untuk menggantikan beliau. Loyalitasku kepada partai tidak disangsikan lagi. Betapa tidak, darah, tulang, dan keringat rela kukorbankan untuk partai.

Tujuan berpartai untuk menengakkan denokrasi dengan benar. Namun niatku, hanya isapan jempol. Banyak orang berpartai yang saling sikut untuk  mendapatkan kursi pimpinan partai.

Politik uang, dan adu domba menggila saat pemilihan ketua partai. Aku benci. Aku marah. Aku kehilangan warna.

Gelombang itu mengikis habis kepercayaan dan kecintaanku kepada partai. Semuanya kubuang ke laut. Kutinggalkan partai. Masabodo dengan partai.

Ayahku yang sudah puluhan tahun malang melintang di partai, didepak. Sedikit pun tidak ada apresiasi yang mereka berikan kepada ayahku. Sungguh mengecewakan.

Kini, jelas bagiku, bahwa tujuan mereka hanya untuk mengejar kedudukan sebagai anggota DPR. Lalu meraup kekayaan.

Gelombang itu mengikis habis kepercayaan dan kecintaanku kepada partai. Semuanya kubuang ke laut. Kutinggalkan partai. Masabodo dengan partai. Ratusan orang memberikan ucapan selamat kepadaku atas sikapku tersebut.

*****

Tujuh tahun aku terbebas dari panggung politik. Namun komitmenku berubah ketika ditawarkan kepadaku menduduki kursi ketua Partai Ekstra Kuat tungkat provinsi. Aku kembali bergulat dengan dunia sikut menyikut dan banyak duit banyak kawan itu. 

Setelah aku dilantik menjadi ketua, ratusan orang berunjuk rasa ke rumahku. Kemarahan mereka kian membara setelah melihat plang besar bertuliskan nama partai terpajang di depan rumahku. 

Mereka yang berunjuk rasa merupakan orang-orang yang mendukungku keluar dari partai tujuh tahun silam. Mereka ngotot, agar aku tidak berkecimpung di dunia politik.

"Munafik," teriak mereka dengan suara lantang.

"Pengkhianat," teriak yang lain.

Walau mereka menghujamku dengan kata-kata yang tajam, sehingga menyayat hati, namun unjuk rasa berlangsung damai. Aku tampil sendiri di teras rumah.

"Ludah yang sudah dibuang, jangan dijilat kembali," ujar seorang pria ketika aku sampai di teras rumah.

"Saudara-saudaraku, saya mohon maaf, karena sikap saya yang melenceng dari pandangan yang utarakan selama ini," kataku memulai pernyataan.

"Maafkan saya yang telah pula kembali bergelut dengan partai," sambungku.

"Tapi saya bukan munafik!" Lanjutku.

"Bukan munafik? Jangan sok suci, bung!" Sindir seorang anak muda.

Ya"Keadaan yang memaksaku mematahkan komitmenku," jawabku.

Aku ingat pesan agama, jika marah saat berdiri, duduklah! Aku coba menerapkan hal tersebut. Walau butuh waktu, namun akhirnya mereka bersedia duduk lesehan di bawah pohon rambutan di halaman rumahku.

"Setan apa yang telah merusak komitmenmu?" Tanya pria berkumis tebal yang persis duduk di sebelahku. Aku tersenyum getir menanggapi pertanyaan itu.

"Kalian tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?" Balik aku yang bertanya.

Mereka saling berpandangan. Mungkin mereka tidak memahami maksud pertanyaanku, "Disaat rakyat disuapi dengan penderitaan, kesengsaraan, dan kemiskinan, wakil-wakil kita di gedung dewan tidak pernah ikut merasakannya," sambungku dengan emosi yang membara.

"Mereka," lanjutku, "Hanya sibuk dengan kursi empuknya, tawa, dan canda. Bahkan ada yang melakukan korupsi,"

Semua diam dan merenungkan, serta membenarkan ucapanku itu. "
Mereka pun mendapat gaji dan fasilitas yang mewah. Siapa yang tidak tertarik menjadi anggota DPR?"

"Ya...kursi DPR akan terus menjadi rebutan para politikus demi mendapatkan berbagai fasilitas kemewahan dari rakyat," lanjutku seperti menanamkan suatu motivasi, agar mereka pun jangan hanya menjadi pemilih, tetapi untuk pilih.

"Apakah Bapak kembali berpartai untuk mendapatkan kursi DPR juga?" Tanya seorang anak muda.

"Pasti! Saya capek menjadi rakyat," jawabku pasti.

"Saya menjadi anggota DPR untuk menyuarakan bisikan hati saya," sambungku.

Aku berdiri di tengah mereka. Semua mata tertuju kepadaku. "Saudara-saudaraku, pemilu mendatang aku menjadi anggota DPR. Jangan hanya menjadi rakyat. Jadilah wakil rakyat di DPR," ajak dengan penuh semangat.

"Mulai hari ini," lanjutku, "Kuajak kalian beramai-ramai menjadi anggota partai dan mencalonkan diri menjadi anggota DPR,"

Tidak ada respons. Mereka saling berpandangan. Entah apa makna sikap yang mereka lakonkan itu. Akhirnya, satu persatu mereka membubarkan diri.

Sebelum mereka menghilang dari pandanganku, masih sempat kuteriakkan, "Pemilu mendatang aku anggota DPR. Kalian harus mengikuti jejakku. Kalau tidak, nadib kalian akan terun terinjak. Woi...pilih aku dan partaiki, ya,"

"Bang. Bang. Bangun, bang." Istriku menggoyang-goyang tubuhku.

"Abang bermimpi," kata istriku.

Kubuka mataku dan kupandangi sekeliling kamar. Seekor cicak di langit-langit kamar menjulurkan lidahnya seraya berbunyi, "Ckckck...anggota DPR ni yee."

"Aku bermimpi?" Tanyaku kepada istri, karena merasa kurang yakin.

"Abang nggak perlu berpartai. Abang sudah cukup menjadi guru dan penulis. Syukuri itu, bang," pinta istriku.

"Aku tidak setuju abang berpartai. Partai itu hanya menjanjikan mimpi. Ya, seperti mimpi abang tadi," kata istriku.

Aku tidak mampu menyanggah setiap ucapan istriku. Lebih baik diam seribu bahasa daripada menjawab satu kata.

Malam kian larut. Yang terdengar hanya nyanyian jangkrik. Sesekali angin kecil menerobos masuk ke kamar melalui celah ventilasi jendela.


Istriku merebahkan tubuhnya di sisiku. Tubuhnya merapat ke sisiku, lalu merangkulku dari belakang. Aku berbalik memandang wajahnya. Kami tersenyum bahagia sekali.

"Senyummu lah yang pasti. Pasti kunikmati setiap saat," (Suka Makmur, Kamar Sepiku, 26 Juni 2002)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDAKI SERIBU ANAK TANGGA ZIARAH KE MAKAM SAHABAT RASULULLAH

KESEDERHANAAN SAID BIN AMIR

SEBUTIR PELURU