JANGAN JUAL SEKOLAH KAMI


Cerpen

HAJJAH Rayati, Kepala SD Negeri Sukamaju berdiri di belakang jendela ruang kerjanya yang terbuka lebar. Dipandangnya ratusan siswa yang berhamburan keluar dari kelasnya masing-masing, setelah bel jam pelajaran terakhir berbunyi.

Setelah siswa terakhir meninggalkan areal sekolah, yang berada di pinggir Jalan Kelurahan Sukamaju, barulah perempuan berkacamata minus itu kembali duduk di kursi di belakang meja kerjanya. Pikiran guru yang telah 25 tahun berbakti di dunia pendidikan, sedang kacau dan risau. Bukan dilema keluarga yang menggerogoti bathinnya. Bukan pula karena ditunda kenaikan pangkat dan golongannya. Kecamuk yang menggayut bathin dan pikirannya setelah dua orang pria berbadan besar menemuinya, dua hari yang lalu.

Kedua orang pria yang mengaku sebagai staf di kantor kelurahan, bukan untuk menagih pajak bumi dan bangunan. Mereka datang membawa dan menunjukkan belas lembar surat yang ditandatangani oleh lurah.

Isi surat itu menyatakan telah dibangun gedung baru SD Negeri Sukamaju di lokasi yang jauh dari kebisingan kendaraan. Sementara tanah dan gedung SD Negeri Sukamaju yang lama sudah dijual kepada seorang pengembang untuk dijadikan lokasi pembangunan mall.

" Mulai bulan depan gedung sekolah ini sudah dikosongkan. Ibu jangan takut, semua fasilitas pendidikan sudah disediakan gedung sekolah yang baru, " kata staf kelurahan.

Rayati terdiam mematung. Seakan detak jantungnya tidak berdenyut. Nafasnya terasanya berhenti.

" Mengapa tidak pemberitahuan sebelumnya? "  tanya Rayati dengan suara tergugup.

" Ibu tidak perlu mempertanyakan hal itu, "
ujar staf kelurahan dengan angkuh.

" Yang terpenting, ibu beserta semua guru dan siswa tinggalkan sekolah, dan masuk gedung yang baru, " staf yang lain menambahkan dengan warna angkuhnya.

*****

Gejolak yang menghantam Rayati tak mampu dibendungnya. Dia tumpahkan kecamuk di dada kepada para guru, siswa, dan orang tua siswa. Semua berang. Berbagai caci maki mereka lemparkan kepada kelurahan.

Entah komando dari siapa, hari itu juga mereka mendatangi kantor lurah. Hansip kelurahan berpagar betis untuk membendung warga yang sudah dibakar emosi. Mereka berunjuk rasa di luar pagar kantor lurah.

Berbagai poster dipajang sepanjang panjang pagar kantor lurah. Isi poster itu mencaci maki kebijakan lurah yang seenaknya memindahkan dan menjual gedung dan lahan sekolah kepada tengkukak  Bahkan poster bergamar pak lurah menjilati gedul mall.

" Kami tidak bersekolah di gedung yang baru. Bapak saja yang sekolah di sana. Binalah mental Anda di sana. Merenunglah! Kebijakan Anda menyusahkan rakyat. Anda bahagia di atas penderitaan kami, "  itulah luapan kemarahan penduduk.

" Keluar dari kantormu, lurah. Jangan jadi pengecut! "  seorang guru perempuan berteriak.

Ketika seorang DPRD, yang juga warga setempat keluar dari kantor lurah. Dengan pengharapan pembelaan, warga menemui anggota dewan tersebut. 

" Kami tidak setuju sekolah kami dijual, "  kata para murid di hadapan anggota dewan itu.

" Bantu kami, Pak!, "  ujar seorang lelaki.

Anggota dewan itu tersenyum simpul.

" Jangan jadikan sekolah kami menjadi mall, " seorang siswa laki-laki yang bertubuh besar mendekati anggota dewan bernama Mursyid itu.

Mursyid membelai rambut siswa itu. 

" Saudara-saudaraku sebaiknya kalian berterima kasih kepada lurah yang telah bersusah mendirikan gedung baru untuk sekolah anak-anak kita. Gedung yang lama sudah keropos dan dekat dengan kebisingan kendaraan. Kalaupun dibangun mall di arel gedung sekolah yang lama akan menambah kesejahteraan warga, " kata anggota dewan itu bagai sedang berseminar.

" Tidak! Jangan jual sekolah kami, " teriak anak-anak bersamaan.

" Kami tak butuh mall. Kami butuh sekolah yang lama, "  giliran orang tua siswa menyuarakan isi hatinya.

" Mengapa kalian tidak mau pindah ke gedung sekolah yang baru dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas?,  tanya Musyid penasaran 

" Penjualan gedung sekolah yang lama ditutupi-turupi. Lurah meraih untung ratusan juta, "  seorang pria yang dihormati di kelurahan itu buka suara.

" Gedung sekolah yang dikerjakan sembarangan, tanpa perencanaan yang matang. Letaknya jauh dari pemukiman penduduk dan rawan  kejahatan, " kata yang lain menambahkan.

" Tolong Bapak batalkan penjualan sekolah kami, "  kaya seorang siswi memohon.

Mursyid terbelalak matanya, karena dia kenal dengan siswi kelas enam itu. Farida, anak bungsu lurah. Mursyid merasa tak ada lagi kata-kata yang mau diterima warga. Beliau meninggalkan kerumunan warga.

*****

Malamnya, Farida menemui ayahnya yang sedakan asik membaca suratkabar. Farida persis duduk di hadapan ayahnya.

" Mengapa siang tadi kau ikut berunjuk rasa?, "  tanya ayah Farida yang bernama Rahman.

" Bertoleransi dan menunjukkan sikap ayah terhadap sekolahku, salah, "  

" Siapa yang mengajari kau berkata seperti itu?, " 

Farida tidak menjawab.

" Apa maumu sekarang?, ". tanya Rahman dengan nada kesal.

" Jangan jual sekolah kami!, "  kata Farida dengan tegas dan keras.

" Tolong, ayah, jangan jual sekolah kami!, " ulang Farida lembut.

" Memangnya mengapa kalau ayah jual? "

" Orang-orang akan menuduh ayah pelaku KKN. Penduduk pun akan menuduhkan kita makan uang haram. Aku malu, ayah, " ujar Farida dengan haru dan berurai air mata.

Rahman memandang wajah putrinya. Terbesit ras haru di hati sang lurah. 

" Nak, sekolahmu ayah jual, karena telanjur telah menerima uang ratusan juta dari pengembang. Bukan ayah sendiri yang menjualnya. Atad ayah pun mendukungnya. Maafkan, ayahmu. Kau belum tahu dan tidak boleh tahu kecurangan inii. Maafkan, ayah, "  kata hati sang lurah.

" Ayah memenuhi permintaanku?, "

" Tidurlah! "  kata Rahman.

" Ingat, yah, jika sekolah kami tetap dijual, maka setiap hari kami akan belajar di kantor lurah, ". ancan Farida.

" Hah....masuk kamarmu. Tidur!, ". bentak Rahman, yang tidak pernah sekasar itu kepada anak-anaknya. Namun, demi menutupi kealpaannya, Rahman tega memarahi anaknya.

" Jangan jual sekolah kami, ". kata Farida dengan histeris sembari masuk ke kamar tidurnya.

Malam terus berjalan menjemput mentari esok pagi. Bagaimana esok? Tak seorang pun yang bisa menjawab. Embun pun belum pasti bermain di daunan. (Suka Makmur, 28  April 2002)

ANALISA - KAMIS, 9 MEI 2002








Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDAKI SERIBU ANAK TANGGA ZIARAH KE MAKAM SAHABAT RASULULLAH

KESEDERHANAAN SAID BIN AMIR

SEBUTIR PELURU