LAMARAN MANTAN NAPI


AKU tidak mengerti, mengapa lelaki berperawakan kekar dan tinggi, bernama Marno itu datang bertamu ke rumah kami. Padahal selama ini hubungan keluargaku bersikap acuh terhadap pria yang baru sekitar tiga bulan meninggalkan terali besi.

"Apa maunya datang ke rumah kami?" Tanya hatiku sembari mengawasi setiap gerak-gerik. "Apakah strategi untuk memperhatikan situasi rumah kami, agar mudah melakukan pencurian?" Prasangka negarif memenuhi hatiku.

Yang membuatku semakin penasaran, mengapa ayahku sangat dekat dan akrab dengannya? Seolah-olah mereka pernah menjalin persahabatan yang amat intim.

"Ratih, apa yang kau lakukan di situ?" Pertanyaan ibuku membuatku tersentak kaget.

"Marna yang baru bebas dari penjara itu datang bertamu ke rumah kita," kataku.

"Mau apa dia?" Tanya ibu.

"Ayah-lah yang tahu, bu."

"Jangan...jangan," kata ibu dengan wajah penuh cemas.

"Jangan...jangan dia mau mencuri di rumah kita. Ya kan, bu?" Tambahku.

"Mungkin!" 

Setelah pria itu pulang, aku dan ibu segera memburu ayah di ruang tamu. Kuperhatikan wajah ayah agak kusut bagai memendam satu persoalan yang rumit untuk diselesaikan. 

"Mengapa, yah? Dia mengancam ayah?" Tanyaku ingin cepat tahu apa maksud kedatangan Marno.

"Tidak," jawab ayah datar sembari melonyotkan putung rokoknya ke asbak.

"Mau apa dia datang?" Giliran ibu yang bertanya.

"Hanya jalan...jalan," jawab ayah tenang.

Aku dan ibu saling berpandangan. Sejurus kemudian ayah beranjak ke ruang tengah. Ayah merebahkan tubuhnya di bale-bale yang ada di sudut ruang.

"Ayah diancamnya?" Aku kembali pertanyaan itu, karena aku merasa ada sesuatu yang mengusik ketenangan ayah. Beliau memandangku dalam sekali.

"Ada apa sebenarnya, yah?" Aku membujuk ayah untuk memberitahu kejadian yang sesungguhnya.

Ayah duduk di bibir bale-bale. Kepulan asap rokok kretek yang dihisapkan memenuhi ruang. Kutumpahkan segala duka dengan cucuran air mata di atas kasur tempat tidurku. 

"Marno melamar Ratih." Kata ayah kepada ibu yang baru duduk di samping ayah.

Mendengar penjelasan ayah, aku seperti mendengar petir pada siang bolong. Mulutku terkatup rapat, sehingga tidak dapat berkata apapun. Aku hanya bisa termangu.

Tanpa terasa air mata jatuh membasahi pipiku. Hal itu kusadari setelah dengan lembut ibu mengusapnya. Kutumpahkan duka dengan cucuran air mata di atas kasur tempat tidurku, yang setia mendengar tiap gundahku.

Kudengar ayah dan ibu bertengkar mulut, tapi aku tidak persis apa yang menjadi perdebatan mereka. Yang kudengar ibu berkali mengucapkan kata tidak setuju.

"Kamu yang sabar dan tabah ya, nak. Ibu tidak akan pernah mengizinkan Marno melamarmu." Ibu menemui di kamar sambil membelai rambut. Kelembutan suara ibu menjadi obat penyejuk hatiku.


*****

Ketika sarapan pagi, ayah membicarakan lagi tentang lamaran Marno. Dengan hati-hati ayah berkata kepadaku, "Ratih, Marno yang sekarang bukan Marno yang dahulu. Dia sudah bertaubat, sudah berubah."

Aku tidak bereaksi apapun. Nafsu makanku seketika hilang setelah mendengar nama Marno. Tidak setitik pun aku memiliki rasa kepadanya.

"Dia sudah menjadi orang baik. Dia berjanji kepada akan menjagamu dengan baik," sambung ayah.

"Ratih tidak bisa, yah," 

"Mengapa?"

"Ratih tidak mau punya keturunan dari seorang pencuri, pemabuk, dan penjudi,"

Sikap kasar ayahku yang sudah lama dibuangnya, muncul spontan. Tangannya begitu ringan menambar pipiku atas penolakanku terhadap lamaran Marno. Aku cuma bisa menangis menahan sedih atas sikap ayah yang lebih membela Marno daripada aku anaknya.

*****

Setelah kejadian itu ayah menghilang. Beliau meninggalkan rumah tanpa permisi kepadaku dan ibu. Kami tidak tahu harus mencari di mana keberadaan ayah, sebab ayah anak tunggal. 

Timbul sesal di hatiku, karena ulahku ayah menghilang tidak diketahui di mana rimbanya. Disisi lain hatiku memberontak perjodohanku dengan Marno. Aku tidak pantas diperistri oleh orang yang berulang kali keluar masuk bui. 

Alhamdulillah, empat hari kemudian kami mendapat informasi dari kepolisian, bahwa ayah dirawat di rumah sakit. Sebelum polisi menemuka ayah tergetak pingsan di tepi jalan. Menurut diagnosa dokter, sakit jantung ayah kembali kambuh. 

"Ayah, ini Ratih," kataku ketika mebezuk ayah di ruang opname.

"Maafkan ayah," suara ayahku lirih.

"Tinggalkan aku. Kalian tidak boleh terlibat. Kalian tidak tahu apa-apa," sambung ayah, sehingga membuat tegang dan penasaran.

"Maksud apa, yah?" Desakku ingin cepat tahu.

Belum sempat menjawab pertanyaanku, ayah mengerang kesakitan sembari mengurut-urut dada sebelah kiri. Wajah pucat dan menyeringai menahan sakit. Aku bertindak cepat memanggil dokter untuk memberikan pertolongan terbaik kepada ayah.

*****

Tiga hari setelah kembali ke rumah, ayah tampak berkemas untuk suatu perjalanan. Aku dan ibu tidak tahu ayah hendak pergi ke mana? Melihat bekal sandang yang dibawa ayah dalam koper, ayah akan melakukan perjalanan jauh dan lama.

"Ayah mau ke mana?" Tanyaku.

Tanpa menjawab pertanyaanku, ayah terus menyusun barang-barangnya ke dalam koper. Sementara ibu yang baru kembali dari pasar hanya tertegun melihat suaminya.

"Ayah tidak boleh pergi! Ayah harus selalu bersama kami," pintaku seraya menggenggam tangannya yang mulai berkeriput.

"Ayah harus pergi!" Ujar ayah dengan suara bergetar.

"Untuk apa ayah pergi?"

Ayah memandangku dan ibu dengan berganti. Kemudian beliau merangkulku dan membenamkan wajahku ke dadanya.

"Ini untuk keselamatan ayah," bibir ayah bergetar mengucapkannya.

"Marno? Marno mengancam ayah?" Tanyaku penuh emosi. Ayah hanya menggelengkan kepalanya.

Kami tidak bisa menghalangi kepergian ayah. Aku dan ibu hanya dapat mengiring kepergian ayah dengan cucuran air mata dan doa keselamatan.

*****

Rindu kepada ayah terobati ketika pak pos mengantarkan sepucuk surat. Tapi betapa kencang detak jantungku setelah membaca surat dari ayahku. Ayah mengabarkan, bahwa kepergiannya untuk beberapa waktu untuk menghilangkan jejak dari kejaran polisi atas pengaduan dan kesaksian Marno, ayah salah seorang yang terlibat melakukan perampokan nasabah bank, sehingga Marno dipenjara lima tahun. Namun ketika Marno ditangkap polisi, dia merahasiakan keterlibatan ayahku.

Kesediaan Marno menutup keterlibatan ayahku, karena Marno sudah lama jatuh hati kepadaku. Ayah berjanji kepada Marno mengizinkannya memperistriku, asalkan keterlihatan ayah tidak dibongkar Marno. Kini, setelah aku menolak lamaran Marno, ayah dilaporkannya kepada polisi. Jadilah ayahku seorang buronan.

"Ayah," bisik hatiku lirih.

Aku dan ibu tidak dapat berbuat apapun untuk membela ayah. Hanya air mata mengalir membasahi pipi kami.

Hatiku berjanji, biarpun ayahku menjadi buronan, dia tetap ayah terbaik. Lelaki yang tulus ikhlas membesarkanku. Aku tetap merindukan kasih sayangnya. Kepulangannya untuk merangkulku dengan manja akan selalu kunantikan dari detik ke detik.

✍️Publikasi Harian Analisa
✍️Kamis, 23 November 2000











Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDAKI SERIBU ANAK TANGGA ZIARAH KE MAKAM SAHABAT RASULULLAH

KESEDERHANAAN SAID BIN AMIR

SEBUTIR PELURU