Postingan

BAJU HARI RAYA

Gambar
SUDACO dari arah Medan ke Delitua, persis berhenti di depan rumah Golak. Seorang pria turun dengan menenteng tas plastik bertulis nama sebuah toko baju. Pria itu tidak asing Golak. Mereka warga asli Desa Berdiam Diri.  Nih...kukasih tahu namanya, Pulak.      Usia kami terpaut pada kepala bilangan. Umurku berkepala lima. Sedangkan Pulak usianya berkepala tiga.  Pulak, orangnya sangat mandiri. Makan sendiri, tidur sendiri, mandi sendiri dan naik sudaco sendiri. Wajarlah itu, karena dia belum menikah. Bukan tak ada perempuan yang jatuh hati kepadanya. Cuma pintu hatinya belum bisa dibuka akibat kuncinya dipatahkan dan dibuang kekasihnya yang menghilang tanpa kabar. "Capek kali kau kutengok," sapaku. Pulak menyeka keringat di dahi dengan tangan, "Wiih...panas," gumamnya. Bangku di bawah pohon jambu menjadi sasarannya melepas lelah. Kenyamanan dirasakannya, karena pohon jambu berdaun rindang, sehingga sejuk. Apalagi sesekali berhembus angin memainkan dedaunan. "Dari

MENDAKI ASA DARI LEMBAH ILALANG

Gambar
Cerita Hati Kemiskinan tidak menyurutkan semangat dan perjuangan untuk meraih asa. Air mata dan peluh memenuhi rasa yang ditumpahkan di dalam setiap doa. KAMI enam orang bersaudara. Tiga anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Aku anak sulung. Adikku Nazlah, anak kelima pada usia tiga tahun meninggal dunia, karena sakit.  Kami dibesarkan dalam kehidupan ekonomi yang sangat pas-pasan. Ayah menafkahi kami sebagai juru foto amatir. Sedangkan emak guru berstatus pegawai negeri. Alhamdulillah, ayah dan emak mampu menyelamatkan pendidikan kami hingga tamat SMA.  Setelah tamat SMA kami dihadang oleh dilema yang pelik. Hasrat ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, tetapi apa daya kaki tidak mampu diajak untuk melangkah. Sementara untuk memasuki dunia kerja tidak semudah membalikkan pisang goreng di dalam genangan minyak panas. Lantaran jumlah lowongan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan pencari kerja. Pada masa itu (1980-an) untuk menjadi pegawai negeri, tidak cukup hanya men

BOCAH DI HADAPANKU

Gambar
Cerpen BOCAH DI HADAPANKU PERSIS pukul 13.00, bel tanda selesai jam pembelajara berdering nyaring. Setelah berdoa, satu demi satu siswa keluar dari kelasnya.  Usai sholat Zuhur, aku beranjak pulang. Kuhampiri tempat parkir untuk mengambil sepeda motor. Dari kejauhan terlihat ada sesuatu yang lain di jok sepeda motorku. Benar! Setangkai mawar merah diletakkan di jok sepeda motorku. "Waduh! Siapa yang iseng?" Pikirku. Aku tidak merespons hal tersebut. Kuanggap itu hanya keisengan siswa. Sepeda motor kupacu meninggalkan sekolah tempatku mengajar. ***** Keesokan hari pada saat pulang mengajar, aku menemukan lagi setangkai mawar di jok sepeda motorku. Aku mulai kesal dengan keusilan siswa. Kuintrograsi tiga siswa yang sedang bermain di dekat tempat parkir. Tanpa ragu mereka memastikan, bahwa mereka tidak melakukannya. Mereka pun tidak melihat siapa pelakunya. "Sungguh, Pak? Kami nggak tahu," kata mereka bersamaan. Aku menganggap masalah tersebut selesai. Aku tidak perlu
Gambar
HARU MELIHAT SORBAN RASULULLAH MUHAMMAD SAW Galeri yang disulap dari tenda berlapis kain yang serba putih terpajang di halaman Masjid Al Munassif, Jalan Cemara, Percut Sei Tuan, Deli Serdang. Tidak ada ornamen atau pernak-pernik yang menghiasi galeri berukuran 10 × 8 meter itu. Hanya terdapat bacaan artefak Rasulullah di depan pintu masuk galeri. Ribuan orang berjejal di depan pintu galeri antre menunggu giliran untuk dapat masuk melihat pameran artefak Rasulullah Muhammad Saw. Ummat Islam sangat antusias untuk melihat peninggalan rasulnya. Mereka datang dari berbagai penjuru kota Medan dan sekitarnya. Kesuksesan road show artefak Rasulullah tersebut tidak lepas dari kepedulian wakil gubernur Sumatera Utara, Musa Rajecsyah terhadap kerinduan ummat Islam kepada junjungannya, Rasulullah Muhammad Saw. Dua Sesi Menjelang sholat Ashar pengunjung semakin berjimbun berbaris antre untuk masuk ke dalam galeri.

MENGHITUNG DOSA

Gambar
MENGHITUNG DOSA Matahari dan detik  terus bermain Entah sampai kapan mereka lelah bermain Kita hanya bisa menanti Dalam sisa penantian rasa denyut jantung dan rintihan dosa Menghitung dosa yang tersimpan dalam pikiran, hati yang menjalar sampai ke mata, telinga, mulut, tangan, dan kaki Menghitung dosa bukan membiarkan beku di hati membawanya ke Neraka Buka lembar insyaf, taubat Tebar istiqfar 🌹 SENYUM IBU DI BALIK AWAN Senyum Ibu di balik awan Tak mampu kunikmati dengan tawa Titik embun dan garis senja Melayarkan nuansa pada mata Senyum Ibu di balik awan Kususun dalam rindu Sampai kita bertemu dalam pelukan Allah 🌹 MENATAP 2020 Cerita kehidupan masih bersambung Berbagai tema kan terus tersaji Meski teknologi kian canggih, namun perjuangan jangan melemah Sebab pikiran, tangan, dan kaki mengalahkan teknologi

SUARA USANG

SUARA USANG Kepekaanmu Kepedulianmu Kedekatanmu Keadilanmu Kesosialanmu Tak pernah berjalan di negeri ini Tapi ketika matamu beraroma ambisius Melihat betapa nikmat mengecap kue kekuasaan Semuanya engkau lakonkan Sahabat, permainan ini suara usang Yang tak sedap didengar Aku tak terpedaya dengan senyummu Waktu memberikan cambuk yang pedas di punggungku Jangan sebarkan suara usang Tebarkan suara nurani Suara jiwa 🌹 SEMUA MENGAKU SANG MATAHARI *jelang pilkada gubsu  Sejuta wajah Membusungkan dada Dengan bangga memamerkan matahari Dalam kepal kedua tangannya Sejuta wajah Dengan bangga menyunsun kalimat di bibirnya, "aku sang matahari" Setiap titik matahari dibagi pada setiap mata Biarkan! Biarkan mereka mengaku sepuasnya Biarkan suara mereka terbenam di puncak gunung Kita punya hati nurani Kita punya mata hati Pasti bisa bicara jujur Menemukan sang matahari 🌹 RINDU KERING Tawa mentari Senyum bulan Gemulai lenggok sayap kupu-kupu Dilukis tiap detik Berbingkai nafas putih Tak la

PADA REUNI SMA

Papa Reni berdiri dan mengantarkan kedua pemuda sampai ke pintu pagar halaman rumah. Lelaki itu tidak menyapaku, karena memang dia tidak mengenalku. Sorot matanya menyimpan informasi yang akan disampaikan kepadak " Teman Reni? Mau acara reunian?,  " Tanya ayah Reni. " Iya, Pak!, " Cepat aku menjawab .masuklah!  Kami berjalan berdampingan. Badannya begitu kekar dan berisi, tidak sebanding dengan tubuhku yang kurus dan ke cil. " Silahkan duduk!, " Lelaki itupun menggeserkan kursi untukku di teras rumah. Aku duduk sendiri di teras, karena papa Reni masuk ke dalam rumah.  Untuk mengisi kesendirian, kubalik halaman demi halaman surat kabar Dobrak yang kubeli di pasar Sambu. Sasaran tertuju rubrik atau halaman Remaja Kita yang menyajikan artikel, cerpen, dan puisi remaja. Alhamdulillah, redaksi menerbitkan tulisan cerpenku. Reni datang menghidangkan segelas es buah. Dia duduk persis di kursi sisi kiriku. " Maaf, Rus, terlambat menemuimu, " Ujar Reni me