BOCAH DI HADAPANKU

Cerpen

BOCAH DI HADAPANKU

PERSIS pukul 13.00, bel tanda selesai jam pembelajara berdering nyaring. Setelah berdoa, satu demi satu siswa keluar dari kelasnya. 


Usai sholat Zuhur, aku beranjak pulang. Kuhampiri tempat parkir untuk mengambil sepeda motor. Dari kejauhan terlihat ada sesuatu yang lain di jok sepeda motorku. Benar! Setangkai mawar merah diletakkan di jok sepeda motorku.

"Waduh! Siapa yang iseng?" Pikirku.

Aku tidak merespons hal tersebut. Kuanggap itu hanya keisengan siswa. Sepeda motor kupacu meninggalkan sekolah tempatku mengajar.

*****

Keesokan hari pada saat pulang mengajar, aku menemukan lagi setangkai mawar di jok sepeda motorku. Aku mulai kesal dengan keusilan siswa.

Kuintrograsi tiga siswa yang sedang bermain di dekat tempat parkir. Tanpa ragu mereka memastikan, bahwa mereka tidak melakukannya. Mereka pun tidak melihat siapa pelakunya.

"Sungguh, Pak? Kami nggak tahu," kata mereka bersamaan.

Aku menganggap masalah tersebut selesai. Aku tidak perlu harus menguras tenaga, waktu, dan pikiran  hanya gara-gara bunga mawar. 

Aku berharap, tidak akan menemukan lagi bunga mawar yang diletakkan di jok sepeda motorku. Nyatanya, harapanku bertolak belakang. Bunga mawar itu menjadi teka-teki besar di kepalaku. Betapa tidak, setiap hari aku mendapatkan setangkai mawar merah yang diletakkan di jok sepeda motorku.

Bahkan pada hari kelima, sudah bertambah menjadi dua tangkai mawar merah. Untunglah tak seorang pun rekan sejawatku yang mengetahui hal itu. Aku pun menutup rapat peristiwa tersebut.

Entah mengapa aku teringat kepada Rugaiya, teman sekelas dan pacarkan sewaktu SMA. Gadis manis berkaca minus dan rambut berkepang dua itu sangat menyukai mawar merah. Setiap hari Sabtu dia membawa setangkai mawar dan diselipkan di saku seragam sekolahku. Dia bahagia sekali kalau bunga itu kucium.

Kisah kasih kami kandas setelah tamat SMA. Gaya, begitu panggilan manjanya dinikahkan orang tuanya dengan seorang pria pengusaha pengolahan kayu hutan. Gaya ikut dengan suaminya ke Jambi.

Huuup...huuuup. Lamunanku buyar ketika seekor nyamuk meraung-raung di telingaku. Firasatku berkata, kemungkinan Rugaiya yang meletakkan mawar di jok sepeda motorku. Akan tetapi, aku meragukan firasat itu, tidak mungkin dia meninggalkan keluarganya di Jambi. Kemudian dari mana dia tahu aku mengajar di sekolah itu.

*****

Usai jam istirahat kedua, aku tidak masuk kelas. Siswaku di kelas empat belajar Pendidikan Agama Islam. Waktu tersebut kumanfaatkan untuk mencari tahu siapa pelaku yang meletakkan mawar bunga di jok sepeda motorku. 

Aku mengintainya dari sekitar kantin sekolah. Gelagatku yang aneh diketahui pemilik kantin.

"Ngapai Pak guru?" Tanyanya.

Aku tersipu malu, "Mau menangkap seseorang yang iseng dengan sepeda motor saya," 

"Benar, Pak! Beberapa hari saya lihat ada seorang anak perempuan mendekati parkir menjelang pulang sekolah," ungkap bik Rodiah, pemilik kantin.

"Tapi saya nggak tahu entah apa yang dilakukannya," sambung bik Rodiah.

"Terima kasih, bu sudah berbagi informasi," kataku.

Aku terus mengintai pergerakan yang ada di tempat parkir. Namun aku melihat siapapun berada di tempat tersebut.

Ketika bel pulang berbunyi, para siswa berhamburan di lapangan sekolah. Seorang anak perempuan usia sembilan tahun mendekati sepeda motorku. 

"Tidak informasi bu Rodiah," bisik hatiku ketika anak perempuan itu mengeluarkan dua tangkai mawar dari dalam tasnya. Lalu meletakkan bunga mawar itu di jok sepeda motorku.

Aku segera mendekatinya. Meraih keduanya. Dia meronta ingin melepaskan diri. Dia pucat dan ketakutan.

"Bapak nggak marah," kata membujuk. "Nggak usah takut! Siapa yang menyuruh kamu meletakkan bunga itu di sepeda motor bapak?"

Bocah yang di label seragam baju sekolah tertulis nama Eka Putri Risman menatap wajahku.

"Mama," jawabnya singkat.

"Mamamu mana?" Tanyaku pelan membujuk.

"Di mobil,"

Aku segera mengantarkan anak perempuan itu menemui mamanya. Tidak salah penglihatanku, perempuan yang duduk di belakang kenudia mobil adalah Rugaiya  

"Gaya," cepat aku menyapanya. Dia sangat terkejut, karena tidak mengetahui kedatanganku bersama anaknya.

"Kamu nggak berubah, ya?" Tanyaku mengingatkan kebiasaannya.

Rugaiya tersenyum kecil dan keluar dari mobil. 

"Ini," Gaya memberi selembar kartu namanya.

"Datang, ya! Aku tunggu di rumah!" Kata Gaya tanpa sungkan.

*****

Kupenuhi keinginan Gaya bertemu dengannya. Aku tidak tahu, apakah suaminya berada di rumah atau tidak. Kami duduk penuh akrab di teras rumahnya 

"Aku yang menyuruh Eka meletakkan bunga mawar di jok sepeda motormu,"

"Untuk apa?"

"Masak nggak paham. Ya, biar kamu ingat lagi kepadaku," kata Gaya berterus terang.

"Aku baru setengah bulan balik ke Medan, tapi anakku Eka sudah bersekolah di tempatmu mengajar sejak kelas satu,"

Entah mengapa Gaya memandangi wajahku. Sejurus kemudian bulir air mata membasahi pipinya.

"Lho...kamu kok nangis? Kenapa, Gaya?"

Gaya meraih tisu yang terletak di atas meja. Tisu itu basah menghapus air mata yang bercucuran.

"Aku bukan istri suamiku yang sesungguhnya. Aku istri simpanan, tempat pemuas nafsu belaka," Gaya mengungkap deritanya.

"Dia sama sekali tidak mempedulikan anakku Eka,"

"Jadi?"

"Kami resmi bercerai."

Rugaiya meraih tanganku dan menggenggamnya. Aku berusaha melepaskannya. Namun Gaya tetap menggenggamnya dengan kuat.

"Dia tahu, ketika dinikahinya aku sudah tidak perawan," sambung Gaya.

"Maksudnya?" Tanyaku heran.

"Ketika itu aku sudah mengandung empat bulan."

Rugaiya menggeser badannya lebih merapat denganku. "Risman, kau ingat waktu kita menginap di hotel dan berkemah di pinggir sungai saat perpisahan sekolah?"

Aku tidak mampu menjawab. Semua peristiwa pada masa lalu berjalan di mataku.

"Risman, kita melakukan perbuatan yang belum layak untuk kita lakukan."

"Aku hamil, Ris!"

Aku diam. Tidak ada kata-kata yang layak untuk menyanggah atau membantah Gaya. 

"Eka...Eka...Eka sini nak!" Panggil Gaya ketika bocah sembilan tahun itu berlari keluar dari rumah. Bocah itu menuruti panggilan mamanya. Dia duduk di sisi Gaya. Mata bocah itu memperhatikanku dengan lembut.

"Eka anak kita. Namamu tercantum di belakang namanya," kata Gaya dengan sendu.

Jantungku berdetak kencang dan pandangan terasa nanar mendengar penjelasan Gaya. Aku tidak pernah menduga begitu tragis kisah perjalanan cinta kami. Aku tidak pernah berfirasat mempunyai anak dari Gaya.

"Bocah di hadapanku ini, anakku?" Tanyaku kurang yakin.

"Iya!" Angguk Gaya seraya memeluk anaknya. Air matanya membasahi rambut bocah itu.

"Ya, Allah ampunkan dosa hamba,"

Kupeluk erat kedua perempuan itu dengan penuh kasih sayang.

"Maafkan ayah, Eka," (Suka Makmur, 16 Januari 2001)

👉 Publikasi Analisa, 1 Februari 2001

























Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDAKI SERIBU ANAK TANGGA ZIARAH KE MAKAM SAHABAT RASULULLAH

KESEDERHANAAN SAID BIN AMIR

SEBUTIR PELURU