MONUMEN UNTUK IBU

Cerpen

MONUMEN UNTUK IBU

SUDAH lama orang-orang berencana untuk membangun sebuah monumen. Monumen untuk mengenang jasa ibu. Perempuan yang telah mengandung, melahirkan, menyusukan dan membesarkan mereka. Akan tetapi, entah mengapa setiap akan dimulai pembangunannya terhadang rintangan, sehingga gagal dan gagal untuk diwujudkan monumen tersebut.

Begitupun orang-orang tidak pernah menyemai dan memupuk benih putus asa. Kecewa memang pernah merayapi dinding hidup. Oleh sebab itu, dari generasi ke generasi sikap itu terus diwariskan, agar dapat terwujud pembangunan monumen untuk ibu.

Tiap generasi tidak pernah berhenti mencari teknik yang terbaik untuk dapat membangun monumen tersebut. Berbagai bentuk rancang bangun sudah disiapkan, tetapi pembangunannya belum bisa juga terwujud.

Kini giliran generasi melenium menampilkan sosok tangan modrenisasi untuk membangun monumen itu. Mereka yakin mampu membangunnya dengan ditopang oleh teknologi canggih. Yang diimbangi pula inteletual  masa depan. Mereka berkomitmen mampu membangun monumen yang dilengkapi dengan remote control.

Generasi milenial berkumpul di lokasi pembangunan monumen. Mereka memandang enteng dan sepele terhadap lokasi itu. Hati mereka mengatakan, tidak ada yang sukar untuk membangun monumen di tempat yang telah disiapkan oleh generasi sebelum mereka. 

Wajah optimis mereka satukan. Sejurus kemudian, secara bersamaan mereka menunjukkan jari telunjuk dan meletakkannya di atas tanah. Mereka saling tatap, karena telunjuk mereka tidak berada di posisi yang sama.

"Pembangunan monumen harus dimulai dari tanah tempat telunjukku berada," kata mereka serentak seakan berteriak.

"Geneasi milenium milik kita. Kita harus menjadi bunga untuk generasi esok. Kita harus sukses mendirikan monumen," suara hati mereka berkata.

Mereka berdiri bersamaan melaksanakan stategi baru. Telunjuk mereka bengkokkan dan baringkan di telapak tangan. Seolah-olah telunjuk itu tidak ada lagi. Menghilangkan sikap keakuan yang merasuki hati mereka. Semua mengepalkan tangan sebagai semangat kebersamaan.

Rintangan belum berakhir. Ketika kepal tangan, mereka hentakkan ke tanah, bumi bergoyang. Lokasi pembangunan monumen menjadi tidak rata. Banyak gundukan tanah dan bebatuan.  

Tidak ada yang paham, mengapa teknologi canggih tidak mampu hanya untuk mendirikan monumen? Mengapa eksistensi mereka senasib dengan generasi sebelumnya?

Sebagai generasi yang tidak diwariskan sikap putus asa, para mileneal kembali berpikir dan bekerja. Semua potensi mereka kerahkan demi mewujudkan monumen untuk ibu. 

Setumpuk demi setumpuk inspirasi diolah menjadi bentuk wajah seorang ibu. Wajah perempuan dengan senyum ikhlas. Sosok yang dibaggakan oleh anak-anak yang dilahirkan, dibesarkan, dan dididik sepanjang usianya.

Senyum bahagia berhamburan memenuhi alam. Mereka bersorak, "Kita berhasil."

Tragis! Senyum mereka hanya sesaat. Monumen berbentuk wajah seorang ibu itu tidak mampu diangkat mesin katrol ke atas batu tempat meletakkan monumen itu. Malah posisi wajah monumen itu menghadap ke langit.

"Niat kalian sangat baik sebagai apresiasi kepada ibu." Tiba-tiba suara seorang perempuan berbisik di hati para melenium itu.

"Namun," lanjut bisikan itu, "Kalian tidak perlu membangun monumen."

"Apa yang harus kami lakukan sebagai bakti kepada ibu?" Para milenial bertanya.

"Cukup kalian bangun monumen untuk ibu di hati kalian. Monumen itu tidak akan pernah usang dan tidak pernah rubuh dimakan usia," jawab perempuan dalam bisikan tersebut.

Para milenial berjalan mengikuti arus hati masing-masing. Satu demi satu menghilang dibalik kegelapan malam. Rembulan dan gemintang turut bangga menemani langkah mereka. Sementara sang jangkrik bersukacita berkumandang meramaikan malam.

✍️Publikasi Harian Analisa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDAKI SERIBU ANAK TANGGA ZIARAH KE MAKAM SAHABAT RASULULLAH

KESEDERHANAAN SAID BIN AMIR

SEBUTIR PELURU