SURAT KESERATUS

Cerpen Garuda
SETIAP hari ada saja surat diantar pak pos ke rumahku. Akan tetapi, aku tidak mau peduli dengan surat-surat itu. Sejak kecil, aku tidak menyukai surat-menyurat. Namun, belakangan hatiku dihentak keingintahuan tentang surat-surat itu.

Pertama, surat itu dari siapa? Kedua, dari mana mereka mendapatkan alamatku, dan ketiga, untuk apa aku dikirimi surat? Keempat, mengapa istriku tidak cemburu aku dibajiri surat?


Aku tahu betul sifat istriku yang pecemburu. Jika ketahuan aku bercakap-cakap dengan perempuan, rona wajahnya langsung berubah merah, dan cemberut. Tak pelak lagi, aku pun dicerca dengan pertanyaan atas perempuan yang bercakap denganku.

*****

Seminggu belakangan, pak pos tidak pernah lagi datang ke rumahku. Kerinduanku dengan beliau mencuat juga, terlebih klakson sepeda motornya selalu membangunkan aku dari lamunan yang tidak bermakna.

Begitupun, aku tidak memusingkan datang atau tidaknya surat untukku. Yang terpenting aku masih bisa dengan leluasa menghadap meja kerja. Meja kayu yang menemani aku menuangkan ide dan gagasan ke dalam tulisan.

Entah mengapa, hari itu pikiranku tidak fokus untuk mengetik tulisan ke kertas yang sudah menempel di mesin tik. Pikiranku beralih kepada tumpukan surat-surat di sudut meja kerjaku.

Hasratku muncul untuk membaca surat-surat tersebut. Namun, aku heran, amplop surat sudah terbuka semuanya. Sementara surat dalam amplop tidak kuketahui bagaimana nasibnya?

"Siapa yang menyobek amplop surat-surat ini?" Tanyaku membathin.

"Ratih," suaraku memanggil istriku. Tidak berselang lama, dia masuk ke kamar kerjaku, "Ada apa, Bang?" 

"Kamu yang merobek amplop surat-surat ini?" Tanyaku dengan hati-hati, agar dia tidak tersinggung, karena Ratih sedang mengandung anak pertama kami.

"Iya," jawab istriku

"Untuk apa kamu robek?"

"Penasaran! Ingin tahu hasilnya."

"Hasil apa?" Tanyaku bingung.

"Anu...eee," jawab Ratih agak gugup.

Kutuntun dia duduk di kursi. Sementara aku duduk di bibir meja sambil menunggu gerak bibir Ratih mengatakan sesuatu.

"Bicaralah!" Pintaku.

"Ratih mengirimkan lamaran kerja atas nama Abang keseratus perusahaan," kata Ratih.

"Hah!" Ujarku tidak percaya. Aku tidak menyangka Ratih mau dan mampu melakukan hal tersebut.

"Untuk apa?" Sambungku.

"Ratih ingin Abang bekerja menjadi karyawan di suatu perusahaan," jawab Ratih.

"Sembilanpuluh sembilan perusahaan sudah membalas balik surat lamaran bekerja itu," sambung Ratih.

"Hasilnya?" Tanyaku.

Ratih menunduk lesu. Kerut wajahnya menunjukkan kekecewaan. "Maaf, Bang. Semua menolak," kata Ratih.

Ratih menatapku seakan memberikan secercah cahaya. Bibirnya tersenyum kecil sebagai hiasan hatinya sedang berbunga.

"Satu surat lagi belum dibalas, Bang," Ratih mengingatkan.

"Kamu yakin surat keseratus berisi berita bahagia?" 

Ratih mengangguk penuh keyakinan. Kurangkul erat Ratih dengan penuh cinta. Persis ketika pertama kali dia kupeluk sewaktu kami masih pacaran.

"Mana surat-surat penolakan itu?"

"Ratih bakar."

"Ok! Nggak apa"

Hidungku bergerak-gerak mencium bau sesuatu. "Ratih, bau apa ini?"

"Oya...tadi Ratih sedang menyetrika baju."

Aku cepat bergegas untuk menyelamatkan baju yang disetrika Ratih. Astaqfirullah, baju pelanggan yang baru siap dijahit Ratih hangus terbakar, karena panas setrika.

Sejurus kemudian terdengar klakson sepeda motor pak pos di halaman rumah kami. Aku segera menemui pak pos.

"Terima kasih, Pak," kataku setelah menerima surat tercatat dari pak pos.

Amplop surat tercetak lengkap logo, nama, dan alamat perusahaan. Aku sangat kenal dan dekat dengan perusahaan itu. Aku sedikit kesal dan malu atas perlakuan Ratih mengirim surat lamaran kerjaku ke perusahaan itu.

Kami lupakan sesaat baju langganan yang terbakar. Kuajak Ratih duduk di dekatku untuk mengetahui isi surat tersebut.

"Kamu ada mengirim surat lamaran ke perusahaan ini?" Tanyaku menunjukkan sampul surat kepada Ratih. Ratih mengerutkan keningnya mengingat sesuatu yang pernah dilakukannya.

Ratih mengangguk, "Iya, Bang" Ratih memandangku dengan penuh tanda tanya, "Kenapa, Bang? Ada hubungan apa Abang dengan perusahaan itu?"

"Akh! Sudahlah!" Jawabku.

"Tolong beri tahu Ratih, Bang!"

"Abang malu, Rat!"

"Malu? Kenapa malu?"

Kuserahkan surat dari perusahaan itu kepada Ratih. Dengan perlahan-lahan dan hati-hati istriku menyobek amplop surat.

"Mudah-mudahan Abang diterima bekerja di perusahaan ini," kata Ratih dengan penuh harap sebelum membaca tulisan yang tercetak di selembar kertas ukuran kuarto.

Ibu Ratih, kami terenyuh setelah membaca isi surat Ibu yang dikirim bersama dengan surat lamaran kerja Bapak. Kami memahami perasaan Ibu yang sangat mengharapkan perusahaan dapat menerima Bapak menjadi karyawan di perusahaan perkebunan kami. Namun mohon maaf, Ibu, perusahan belum membuka lowongan pekerjaan yang sesuai dengan latar pendidikan Bapak.

Kami kenal dengan Bapak yang sehari-hari bertugas meliput berita di perusahaan kami. Atas tulisan-tulisan artikel Bapak tentang perusahaan kami yang ditulis Bapak di media tempatnya bekerja, kami banyak mengalami perkembangan. Kami sangat berterima kasih. 

Sebagai apresiasi untuk Bapak, pada ulang tahun kelima perusahaan kami, Bapak salah seorang yang akan mendapatkan penghargaan dari kami. Terima kasih,

"Maafkan, Ratih, atas kelancangan ini," ujar istriku pilu.

"Nggak usah kecewa," kataku.

"Syukuri saja gaji Abang sebagai wartawan dan penulis di suratkabar," sambungku menyemagati istriku.

Ratih mengangguk pelan. Dia merapat kepadaku dan merangkulku dengan erat dan manja.

✍️ Kedai Durian, 23 Maret 1987
👉 Garuda, 5 April 1987










Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDAKI SERIBU ANAK TANGGA ZIARAH KE MAKAM SAHABAT RASULULLAH

KESEDERHANAAN SAID BIN AMIR

SEBUTIR PELURU