OII...MAK

DENGAN penuh rasa kecewa kutinggalkan wisma yang dipenuhi ribuan orang. Mereka melototkan matanya di deretan angka yang terpampang di dinding wisma itu. Yang pasti nomor ujianku sebagai peserta tes pegawai ngeri, tak tertera di pengumuman itu.

Tidak perlu repot mencari tahu penyebab kegagalanku bersaing menjadi pegawai ngeri. Hanya menghabiskan waktu, pikiran, dan tenaga. Biarlah waktu yang memberi tahu.

Kunaiku bus antarpropinsi baru kembali dari Jakarta - Medan. Aku duduk di bangku penumpang barisan kedua di belakang supir. Di sisi kiriku telah duduk seorang perempuan yang sebaya denganku. Aku dan perempuan itu saling diam. 

Birahi jontikku menaik. Sesekali kucuri pandang melihat wajahnya yang manis. "Hmm...cantik!" Gumamku. Persis dengan 
cewekku yang mengecewakanku.

Eh...tanpa kusadari wajahnya berbalik memandangku. Senyumnya terkulum melihat sikapku yang salah tingkah. Woo...malunya.

"Kenapa?" Tanyanya.

"Mabuk ya?" Sambungnya sembari menyerah minyak angin cair.

"Eee...maaf. Terima kasih. Saya bukan mabuk,"

"Lho...kok, mukanya pucat?"

"Aku malu," jawabku.

"Malu apa?"

"Ketahuan mencuri,"

"Kamu mencuri? Apa yang kau curi?"

Aku diam pura-pura tidak mendengar pertanyaannya. 

"Apa yang kau curi?" Tanyanya mendesakku.

" Eeee...mencuri. Mencuri anu,"

"Ayo...anu siapa yang kamu curi?"

"Maksudku mencuri pandang wajah nona." 

"Wow..," ujar perempuan itu dengan mata terbelalak.

"Curilah sebanyak-banyaknya, asal jangan sampai berkurang," sambung perempuan itu.

"Boleh kita kenalan?" Pinta perempuan itu dengan terus meraih tanganku.

"Namaku Rina."

"Benni Jolli alias Benjol," balasku.

"Wow...nama yang unik dan lucu."

Perempuan itu mengeluarkan bonbon hek dari dalam tas. Diberikan kepadaku satu buah. Ketika dia membuang bungkus bonbon ke kolong bangku, aku ikut-ikutan melakukannya. 

"Kamu dari mana?" Tanyanya kepadaku.

"Melihat pengumuman hasil tes penerimaan pegawai ngeri,"

"Kamu lulus?"

Aku menggeleng.

"Kok nggak lulus?" Tanya lagi.

"Nggak punya duit," jawabku.

"Kok pakai duit?" Tanyanya lagi bagai wartawan.

"Begitulah mau mereka,"

"Jadi, bagi yang nggak punya duit harus gigit jari dan ngences?"

"Kayaknya begitu," kataku.

Mesin bus terus menderu menembus waktu yang tak mau berhenti. Musik manis mengalun memenuhi ruang bus.

"Rina dari mana?" Tanyaku.

"Rantau," jawabnya.

"Hebat! Seorang perempuan berani sendirian merantau,"

"Kamu lucu, ya? Saya baru kembali dari Rantau Prapat. Bukan merantau!"

Perempuan itu mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya. Kartu nama. Ya...dia memberikan kartu namanya kepadaku. Tertulis lengkap nama, dan alamatnya.

" Ayo...sekarang kita turun!" Katanya.

"Lho...mau ke mana?" Tanyaku heran.

"Kita sudah sampai terminal Amplas,"

"Ha..."

Dengan senang hati kubantu Rina menurunkan barang bawaannya dari atas bus. "Berat juga bah!" Gerutuku.

"Kok berhenti?" Tanyaku setelah mengikuti langkah sekitar limapuluh meter.

Matanya liat mencari sesuatu di sekitar terminal. "O...itu mereka!" Katanya seraya menunjuk orang di tengah keramaian. Aku tidak tahu siapa yang dimaksudnya.

Seketika dia berlari mendekati orang yang dicarinya. Mereka berpelukan penuh rindu. Rani beserta dua bocah dan seorang pria usia setengah baya mengelilingiku.

"Benjol, perkenalkan ini Susi dan Santi, anak tiriku. Ini Bang Andi, calon ayah anakku yang bersemayam di rahimku," 

"Kenapa?" Tanya suami Rani yang melihatku dalam ketidakmengertian.

"Ya...ya...begitulah!" Jawabku sekenanya.

Ketika kuperhatikan lebih dekat dan cermat, suami Rani, aku kenal dengannya. Dia bukan orang yang asing bagiku. Nama beliau Andi Fahreza, guru Matematikaku waktu SMA.

"Bapak kenal dengan saya?" Tanyaku.

Beliau memperhatikanku dengan cermat. Dipegang kedua pundakku. Sembari mengangguk-anggukkan kepala, beliau mengelilingi badanku. Aku pun ikut berputar.

"Masih ingat, Bapak?"

"Eee...tidak!"

"Saya Benjol. Murid Bapak yang badung"

Beliau tampaknya mulai mengingatnya. Dia mengangguk-angguk.

"Eee...Benjol yang mengempiskan ban mobil saya?"

"Lho...Bapak kok tahu saya yang mengempiskan?" Tanyaku heran.

"Ya...tahulah!"

"Kenapa tidak menghukum saya waktu itu?"

"Bagaimana saya mau menghukum kamu, buktinya tidak ada,"

"Tadi Bapak bilang, saya yang mengempiskan ban mobil Bapak."

"Itu kan praduga saja. Sekarang baru terbukti. Ternyata kamu pelakunya,"

"Maaf, Pak. Waktu itu saya emosi. Sekarang saya berubah menjadi terpojok,"

"Baiklah! Saya tidak perlu menemplengmu, agar kau semakin sedih dengan kegagalanmu menjadi pegawai ngeri,"

"Kok Bapak bisa tahu?"

"Ketua pelaksana tes menantuku, teman sekelasmu yang sama binalnya denganmu,"

"Kok saya digagalkannya?"

"Dia diintervensi dengan ikatan duit,"

Pak guru dan keluarga masuk ke dalam mobil tipe terbaru. Tanpa mereka sadari tas ransel Rina tertinggal di trotoar terminal. Barang itu kubawa pulang ke rumah.

Dalam pikiranku muncul praduga, isi tas ransel itu penuh dengan barang berharga mahal. Saking penasarannya, tas itu kubuka di bale-bale bambu di halaman rumah.

Srek...srek, resleuting tas kubuka. Jreng! Oh...ternyata! Oii...mak, isinya peralata penutup aurat perempuan. Akh!



























Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDAKI SERIBU ANAK TANGGA ZIARAH KE MAKAM SAHABAT RASULULLAH

KESEDERHANAAN SAID BIN AMIR

SEBUTIR PELURU