DIAKHIR KKN

CURAH hujan pada siang itu menghentikan langkah sepasang remaja untuk menikmati panorama sungai. Keduanya menyingkir dari terpaan hujan. Warung di pinggir sungai menjadi tempat mereka berteduh.
Irwan dan Ferra duduk berdampingan di sudut warung. Angin yang berhembus genit memainkan rambut Ferra yang tergerai sebatas bahunya.

"Terima kasih, mbak," ujar Irwan kepada pemilik warung yang menghidangkan pesanan mereka, misop dan teh manis hangat.

Irwan menuangkan kecap, dan saos ke bangkok misop. Hal yang sama dilakukan oleh Irwan ke bangkok misop kekasihnya.

"Udah, Ir. Sedikit saja!" kata Ferra.

Setelah mengaduk gula yang belum larut, Ferra mencicipi teh manis. Waw...masih terasa panas. Kening Ferra melebar merasakan panas yang menyulut lidahnya.

Irwan sosok pria yang peka. Dia mengaduk berulang kali teh manis minuman sang kekasih, agar berkurang panasnya. "Minumlah!" Kata Irwan.

Ferra merasa tersanjung dan kagum atas sikap kekasihnya itu. Hatinya bangga mendapatkan tambatan hati yang tulus dan perhatian kepadanya.

Sembari meneguk minumannya, mata Ferra tiada henti memerhatikan Irwan. Keadaan itu membuat Irwan merasa kikuk.

"Kenapa, Fer? Ada yang aneh di wajahku?"

Ferra tertunduk malu. Untuk menutupi rasa malunya, dinikmati lagi suwiran daging ayam yang masih tersisa di mangkok misop.

""""

Rinai hujan telah mereda. Matahari kembali menampakkan cahayanya. Langkah Irwan dan Ferra kembali berayun menyusuri pinggir sungai berupa betangan pasir putih.

Rimbun pohon bambu yang sejuk menaungi sebuah batu besar. Gemerisik daun bambu menjadi simponi alam kala bayu mengajaknya bermain.

Tangan Irwan membimbing Ferra untuk duduk santai di bawah rimbun pohon bambu. Keduanya duduk bersisian di atas batu besar. Irwan melepas pandangannya terhadap suasana alam yang indah dan asri. Sementara Ferra sibuk, seakan tidak puas memperhatikan wajah Irwan. Jantung berdetak kencang kala mereka beradu pandangan.

"Irwan, besok kami selesai KKN di desamu ini," kata Ferra. 

"Aku dan kawan-kawan akan kembali ke Medan," sambung Ferra dengan suara yang tertahan.

Irwan terdiam. Hatinya sedih dan kecewa, karena mereka akan berpisah. 

"Ada yang tidak mampu kulupakan di desa ini," kata Ferra terhenti. Irwan menarik nafasnya, menunggu kelanjutan ucapan Ferra.

"Aku telah menemukan kembali apa yang kucari dan kunantikan selama ini," sambung Ferra dengan suara terbata-bata.

Irwan menatap dalam wajah perempuan berkacamata minus yang berada di sisi kirinya. 

"Hati dan cintaku, Ir. Aku sayang padamu!" Ferra merebahkan wajah ke dada Irwan. Air matanya mengalir deras betapa dia mendambakan kehadiran Irwan untuk relung hatinya.

"Fer, aku hanya pemuda desa. Sedangkan kamu sebentar lagi menjadi sarjana. Apa yang kau banggakan dari aku?"

Ferra mengangkat kepalanya dari dada Irwan. Dipandangnya lama wajah lelaki yang pernah menjadi pacarnya ketika mereka masih SMA di Medan. Namun keduanya harus berpisah, karena setelah tamat SMA ayah Irwan pensiun dan pindah ke kampung halaman mereka. Ayah Ferra yang menjadi atasan ayah Irwan menentang keras hubungan keduanya. Otomatis komunikasi mereka terputus, apalagi setelah Ferra melanjutkan pendidikannya di Fakultas Pertanian. 

"Irwan, diakhir KKN ini aku ingin kau tahu sesuatu," kata Ferra.

Irwan diam saja. Dia bersikap pasif menunggu penjelasan dari Ferra.

Ferra meraih kedua tangan Irwan. Digenggam dengan manja kedua tangan pemuda desa yang kini menggeluti usaha sebagai peternak ayam dan ikan lele.

Irwan menggeser duduknya dan beranjak beberapa langkah mendekati rumpun bambu. Tangannya usil memetik ranting bambu yang terjurai di depannya. Ferra cepat menyusul Irwan. 

Dengan spontan Ferra memeluk Irwan dari belakang badannya. Direbahkan kepalanya di punggung Irwan. Jantung Irwan berdegup kencang beradu cepat dengan detak jantung Ferra.

"Irwan, masih pantaskah aku memiliki cintamu?"

Irwan cepat membalikkan badannya. Digenggam kedua tangan Ferra.

"Aku sayang. Aku cinta padamu, Fer. Tidak pernah berubah!"

"Tapi, Irwan, aku bukan Ferra yang kau cinta sewaktu SMA,"

Irwan menatap dalam wajah perempuan yang ada dalam pelukannnya. "Maksudnya?" Tanya Irwan.

Ferra menyeka air mata yang jatuh membasahi pipinya. Irwan dengan manja membuka kacamata Ferra dan menyeka lembut bulir air bening di pipinya.

"Kok sedih?" Tanya Irwan.

"Pasti kamu nggak sanggup mendengarnya. Sudahlah!" Kata Ferra seraya melepaskan pelukan Irwan. 

Irwan berusaha mengejar Ferra yang menjauh darinya. Irwan meraih tangan Ferra yang terus berjalan. "Tunggu, Ferra. Ada apa?"

Ferra menghentikan langkahnya. "Maafkan, aku, Ir," kata Ferra.

"Setelah kita berpisah, papa menikahku dengan anak tulangku," kata Ferra. Irwan cuma bisa terperanjat mendengar hal tersebut. Nafasnya bergerak kencang.

"Jadi kamu istri orang?"

Ferra menggeleng. "Kami sudah bercerai setelah anakku lahir. Dia berselingkuh. Bukan cintaku,"

Genangan air mata menumpuk di bola mata Ferra. Secara perlahan air luka itu mengalir membasahi kedua pipi Ferra.

Irwan cepat bersikap. Dia tidak tega membiarkan perempuan itu bersimbah air mata, walaupun hatinya terluka setelah mengetahui Ferra sudah pernah menikah. Irwan merangkul Ferra dalam senja yang bergulir.

Irwan dan Ferra meninggalkan tapak kisah mereka hari itu. Jalan setapak di antana pepohonan, keduanya mengayun langkah sembari bergandengan tangan. Nyanyian jangkrik mengiringi perjalanan mereka.

Garuda, Medan, 11 Januari 1987

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDAKI SERIBU ANAK TANGGA ZIARAH KE MAKAM SAHABAT RASULULLAH

KESEDERHANAAN SAID BIN AMIR

SEBUTIR PELURU