KABUT KEMBALI DATANG

BETAPA senang hatiku menyambut kedatangan seorang rekan wanita, yang juga menggeliat di dunia kepenulisan dan teater seperti aku. Kami berkenalan ketika anak-anak teater menggelar malam renungan teater menyambut kedatangan tahun baru miladiyah yang penuh dengan harapan dan menyimpan sejuta kenangan.

"Masih kenalkan denganku?" Tanyanya ketika kami berjabatan tangan.

"Iya, aku kenal. Elida kan?" Kataku meyakinkan.

"Kau Armi," ucapnya dari balik senyum manisnya.

Dia duduk persis di hadapanku, sehingga membuatku sedikit kikuk bila mata lembutnya melihatku. Aku tipe lelaki pemalu, terlebih saat usia belasan tahun. Alhamdulillah, sifat pemaluku berangsur sedikit demi sedikit berubah setelah aku bergelut dengan dunia teater. Yang mana banyak menguji mental untuk memerankan berbagai perlakonan yang ada di dalam kehidupan masyarakat. 

"Bagaimana masih bernafas teater kalian?"  Tanya Elida.

"Ya...mudah-mudahan masih aktif, walau terkadang terlena," jawabku.

Percakapan kami terhenti ketika adikku menghidangkan dua gelas teh manis dan stoples kripik pisang. 

" Silahkan dicicipi, Elida."

"Terima kasih," ucapnya sambil mengangkat gelas.

Keasikanku dengan Elida berbincang tentang dunia kepenulisan dan teater membuatku abai dengan kedatangan Rani. Aku tergugup melihat kedatangan perempuan yang kukasihi dan kucintai. Hati kecilku berbisik, akan terjadi ribut, sebab Rani pecemburu dan tidak rela kalau aku bercakap berduaan dengan perempuan yang belum dikenalnya.

Tanpa basa-basi dan wajah cemberut, Rani masuk ke ruang tamu rumahku. Sorot mata dan ekspresi wajah menunjukkan kekesalan dan kebencian kepada Elida. Elida tampak terusik dengan sikap Rani. Beberapa kali Elida menarik nafasnya untuk mengurangi gundah.

"Mungkin aku menggangu acaramu, Ar,"

"Ah...tidak, Elida."

"Sebenarnya aku ke sini hanya ingin menyampaikan kartu undangan ini," kata Elida sembari menyerahkan selembar undangan.

Aku dan Elida harus terpelongoh lagi ketika Rani datang mendekati kami. Matanya melotot dan bibirnya bergetar penuh dengan amarah. 

"Eee...Elida, ini Rani," kataku memperkenalkan.

Elida cepat mengulurkan tangannya. Rani sekadarnya menyentuh tangan Elida. Dihempaskan pantatnya ketika duduk di kursi sebagai wujud kesalnya.

"Maaf, Elida," kataku.

Elida tersenyum hambar, "Nggak apa-apa. Aku permisi," ujar Elida seraya melangkah meninggalkan bayangan kekecewaannya atas sikap Rani.

Setelah Elida menghilang dari pandanganku, Rani beranjak pula dari rumahku. Padahal kami sudah janji untuk jalan menemaninya membeli buku yang berkaitan dengan perkuliahannya. Aku menjadi tersudut. Bayangan peetengkaran antara aku dan Rani bermain di mataku. Ukh!

Aku tidak mau masalah dengan Rani semakin larut pada pertengkaran. Aku segera menyusul ke rumahnya yang berjarak Setelah Elida hilangan dari pandangan mataku, aku beranjak ke rumah Rani. Aku harus menuntas kecamuk hari Rani yang tidak alasan untuk marah.

"Untuk apa kau datang?" Dengan wajah berpaling Rani mulai merespon kedatanganku. Yang sebelumnya dia bersikap cuek, dan masabodo dengan kedatanganku ke rumahnya.

"Untuk apa kau datang? Perempuan itu kan lebih cantik," ujar Rani dengan memalingkan wajahnya.

"Rani, hendak kau bisa mengerti denganku. Elida temanmu seprofesi. Dia datang hanya untuk mengantarkan undangan pesta pernikahannya." Aku memberi penjelasan.

"Aku tidak perlu semua itu. Kau begitu akrab dengannya, sehingga kedatanganku kau abaikan." Rani berargumentasi.

"Rani!" Suara sedikit keras. "Jangan kau cari gara-gara untuk menghancurkan cinta yang telah kita bina."

"Cukuplah sekali cinta kita pernah putus hanya karena kau salah paham. Cukup itu!" Sambungku dengan penuh harapan, agar dia mengingat kembali peristiwa dua tahun lalu. Rani sekitar setengah tahun menjauhiku. Dia mandah ke rumah abangnya di Jakarta. Kecamuk itu meruncing gara-gara sepupu perempuanku, yang seusia dengan Rani tinggal di rumah orang tua. 

Sepupuku yang dari kampung belum banyak tahu lika-liku kota Medan sebagai tempatnya melanjutkan pendidikan tinggi. Hampir setiap hari aku memboncengnya naik sepeda motor mengurus pendaftarannya menjadi mahasiswa.

"Kami ingat kejadian dua tahun lalu?" Ulang bertanya. Rani hanya diam seribu bahasa. Kemudian dia berlalu ke dalam kamarnya. Aku diam mematung melihatnya berlalu dari sisiku. Kubiarkan dia merenung dan menyelesaikan kecamuk yang bermain di bathinnya.

Pada malam hari, aku kembali datang ke rumah Rani yang dapat kutempuh naik sepeda motor sekitar tigapuluh menit dari rumahku. Ketika sampai di pintu masuk pekarangan rumah Rani, mataku seakan tidak percaya melihat sepasang merpati berboncengan naik sepeda motor keluar dari halaman rumah itu. Aku tidak salah lihat, sepasang merpati itu Rani dan Sardi, bekas kekasih Rani sewaktu SMA.

Angin kekecewaan dan deru sepeda motor yang mereka tinggalkan untukku. Malam yang kuyu kususuri bersama desir angin tanpa canda. Waktu berputar dengan hambar. Terbayang di pelupuk mata lambaian tangan kawan-kawanku mengikuti arus mereka di lembah botol-botol berarak.

Aku berteriak, "Tidak! Aku tidak akan terjebak!"

"Pergi! Pergilah bayangan," kekukuhan keimananku menghadang.

*****

Seseorang datang ke rumahku menyampaikan pesan ayah Rani, agar aku segera menemui beliau. Hatiku risau. Berbagai praduga miring menghinggapi hatiku, telah terjadi suatu peristiwa duka terhadap Rani.

Dugaanku tidak meleset. Begitu melihat aku muncul di depan pintu rumah, ibu Rani segera menghampiriku dan meluncurkan pertanyaan yang membuat kaget. "Rani bersamamu kan, Armi?" 

Aku menggeleng. "Tidak! Saya tidak bersama Rani, Bu."

"Kemarin Rani bilang, kalian mau undangan bersama ke ulang tahun temannya." Ayah Rani mengingatkan.

" Nggak, Pak. Malam tadi saya di rumah saja. Nggak ada jumpa Rani," kataku meyakinkan.

"Sejak malam tadi hingga pagi ini tidak ada kabar Rani. Kami berpikiran Rani bersama kamu," kata ayah Rani.

"Aduh, nak! Di mana kamu Rani," keluh Ibu Rani.

"Bapak dan Ibu kan tahu kebiasaan saya kalau jalan dengan Rani pasti permisi dengan Bapak dan Ibu," kataku mengingatkan.

Ayah Rani menarik nafasnya betapa sedih dan galau memenuhi rongga bathinnya. "Malam tadi kami takziah ke rumah keluarga di Helvetia," ayah Rani menjelaskan.

"Rani sendirian di rumah. Ketika kami pulang, Rani sudah tidak ada di rumah. Bapak dan Ibu tidak tahu ke mana dan dengan siapa dia pergi," kata ayah Rani.

Waktu terus berjalan dari detik ke detik. Siang terus merambat. Tidak juga terlihat tanda-tanda kepulangan Rani.

"Pak dan Ibu mohon maaf," ujarku.

Ayah dan ibu Rani saling berpandangan. "Apa yang terjadi, Armi?" Cepat ayah Rani memotong perkataanku.

Tanpa ragu langsung kuceritakan tentang kebersamaan Rani dan Sardi. "Sardi? Akh...tidak mungkin! Sardi sudah buat perjanjian tidak akan menemui Rani lagi" kata ayah Rani.

"Kalau anak itu nekad mengganggu Rani, dia harus bertanggungjawab kalau terjadi sesuatu terhadap Rani," sambung ayah Rani.

Ibu Rani meratapi nasib anak tunggalnya itu. Air matanya tiada henti membasahi kedua pipinya. Sementara ayah Rani sibuk menelepon keluarga, mencari tahu keberadaan Rani. Namun tidak satu keluarga pun yang mengetahui di mana Rani berada.

"Bagaimana kalau saya cari di rumah Sardi?" Pintaku.

"Kamu tahu rumahnya?" Ayah Rani tampak sedikit senang.

"Rani pernah memberi tahunya, Pak."

Dengan optimis kutinggalkan ruang yang dilanda kekalutan itu. Langkah demi langkah kususuri jalan menuju rumah Sardi. Setelah bertanya dengan sejumlah orang, akhirnya aku sampai di rumah Sardi.

"Sudah sebulan dia pindah dari sini," kata seorang perempuan setengah baya.

"Sardi hanya kost di sini," sambung perempuan pemilik rumah kost.

Aku kembali ke rumah Rani dengan tangan kosong. Jantungku berdebar kencang ketika melihat seorang polisi sedang berbicara dengan ayah dan ibu Rani di ruang tamu. Aku tidak tahu mengapa polisi tersebut datang ke rumah Rani. Namun terlihat dari gerak, mimik, dan intonasi ucapan mereka membicarakan persoalan yang serius.

"Rani di kantor polisi," kata Pak Karto kepadaku setelah polisi berlalu dari rumah.

Aku berprasangka yang negatif terhadap Rani, "Mengapa Rani bisa berada di kantor polisi, Pak?" Tanyaku.

Ayah dan Ibu Rani saling berpandangan. Mereka tampak menyimpan marah dan kecewa kepadaku.

"Rani diperkosa!" Kata Pak Karto.

"Sardi? Sardi pelakunya, Pak?"

Pak Karto tidak menjawab. Beliau berlalu meninggalkan aku. Tidak berselang, beliau mengajak istrinya menjenguk Rani di kantor polisi.

"Berhasil kamu menemukan Sardi?" Tanya Pak Karto setelah beliau di belakang kemudi mobilnya.

"Dia hanya kost di tempat itu, Pak. Sebulan yang lalu dia pindah kost. Nggak tahu pindah ke mana," kataku menjelaskan.

Kedua orang tua Rani beranjak mengendarai mobil tanpa mengajakku. Aku dipojokkan menjadi sosok penyebab terjadinya perkosaan terhadap Rani.

" Ya, Allah kabut kembali menyelimuti awan yang telah memutih," aku membathin.

Dengan hati yang remuk, kucoba menatanya untuk tetap utuh mempertahankan rasa sayang kepada Rani. Aku merasa bersalah atas peristiwa yang dialami Rani. Aku tidak tega menghancurkannya di atas kehancurannya. Hatiku masih terbuka untuk menerima kehadiran Rani. (Kedai Durian, 5 Oktober 1986)

👉 Publikasi SKM Dobrak, 1986





Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDAKI SERIBU ANAK TANGGA ZIARAH KE MAKAM SAHABAT RASULULLAH

KESEDERHANAAN SAID BIN AMIR

SEBUTIR PELURU