BUKAN RUMAH PARCEL

Cerpen Analisa
SEBUAH parsel ukuran besar teronggok di sudut ruang tamu rumah dinasku. Keberadaannya langsung mengingatkanku tentang larangan menerima parcel bagi pejabat pemerintah. Aku tidak mau diposisikan sebagai pembakang terhadap atasan. Aku tidak mau diklasifikasi sebagai pejabat penerima suap. Aku tidak mau menjadi orang penengadah tangan kepada orang.

Begitupun, aku berprasangka baik. Kuyakinkan hatiku, parsel itu bukan pemberian orang, tetapi dibeli oleh istriku. Lantaran menjadi tradisi istriku, setiap lebaran harus ada minimal dua buah parsel yang berisi alat pecah-belah dan buah-buahan.

Menurut pandanganku, parsel yang dipajang istriku lebih dominan sebagai perbuatan pemborosan, dan ajang gengsi. Isi parsel itu tidak pernah dibagikan atau dicicipi oleh tamu yang datang bersilaturrahmi ke rumah kami. Tamu hanya punya kesempatan untuk melihatnya saja. Namun, aku tidak ngotot memaksa istriku untuk mengakhiri tradisi itu. Keadaan sudah terkondisi dengan keadaan orang tuanya yang kaya. Lagi pula, gaji istriku sebagai pegawai negeri yang digunakannya untuk membeli parsel.

"Biasanya dua parsel yang dipajang. Koq...baru satu parsel?" Pancingku sekedar menunjukkan perhatian.

"Naik harga parsel, Bang. Untuk mengirit keuangan, satu parsel saja," jawab istriku seraya merebahkan badannya di atas ranjang.

"Lebaran lima hari lagi, Bang. Mana tahu, besok atau lusa ada THR dari papa, ya...dibeli satu lagi," sambung istriku seperti meralat ucapannya sekaligus menyindirku.

*****

Empat hari menjelang Idul Fitri, parsel yang terpajang di ruang tamu rumahku bukan dua buah. Belasan parsel bersusun di ruang tamu, sehingga mirip toko parsel.

Aku menjadi risau dan resah melihat barisan parsel. Aku tidak tahu, siapa yang memberi parsel-parsel tersebut. Aku pun tidak mau tahu siapa yang memberi parsel.

"Suryati, saya tidak mau rumah ini dipenuhi parsel. Rumah ini milik masyarakat," kataku agak keras kepada istriku.

"Bang, parsel-parsel itu diberikan kepada kita tanpa maksud apapun. Hanya sebagai ungkapan simpati orang kepada Abang. Seharusnya Abang berterima kasih kepada mereka."

"Sur, Abang tidak butuh kiriman parsel dari siapapun. Abang tidak kenal dengan mereka," kataku menunjukkan ketidaksetujuan dengan kiriman parsel.

"Bang," ujar istriku dengan suara rendah seakan memelas.

"Bang, kiriman parsel itu menandakan posisi Abang terhormat di hadapan mereka,"

"Dahulu," sambung istriku sembari duduk merapat ke sisiku. "Sewaktu Abang masih menjadi staf biasa di kantor walikota, apa yang abang dapatkan saat lebaran? SMS ucapan selamat Idul Fitri pun tidak ada yang mengirim untuk Abang," kata istriku berapi-api.


Aku menghela nafas. Aku diam. Mulutku terasa kaku.

"Posisi Abang sekarang terhormat. Abang camat. Banyak orang membutuhkan Abang di kecamatan ini. Wajar mereka memberi parsel!" Istriku mulai menunjukkan ras kesalnya kepadaku.

"Sur, pejabat pemerintah dilarang menerima parsel. Tolong, Sur, jangan gara-gara parsel harga diri abang diinjak-injak mereka," kataku membujuk, agar istriku dapat memahami.posisiku.

"Abang tidak perlu khawatir! Siapa yang tahu abang menerima parsel? Apa Abang yakin, orang-orang di atas Abang tidak menerima parsel?" Istriku terus menusukkan argumentasi dan realita, agar aku dapat terpengaruh.

"Memang..." Lanjut istriku, "Secara kasat mata mereka tidak menerima parsel. Siapa tahu menerima parsel dalam bentuk lain," tambah istriku bagai moderator.

Aku nyaris goyah dengan argumen yang disampaikan oleh istriku. Namun, hatiku cepat terketuk untuk menjalankan komitmen kebenaran di atas jalur yang lurus.

"Tolong ya, Sur, besok jangan ada lagi parsel di rumah ini!" Aku memutuskan.

"Parsel-parsel ini mau diapakan?" Tanya istriku yang mulai menyerah.

"Terserah! Yang penting jangan ada di rumah ini," kataku dengan suara keras. 

*****

Sehari menjelang Iduk Fitri, parsel-parsel itu masih menumpuk di rumahku. Kepalaku pusing melihat beraneka bentuk dan isi parsel. 

"Mengapa parsel-parsel itu masih menumpuk, Sur?" Tanyaku sekembali dari kantor.

"Bang, biarkan parsel-parsel itu tetap di situ. Parsel-parsel itu tidak mengusik ketentraman tetangga," bantah istriku.

"Tak satupun tetangga marah dan iri melihat kita menerima parsel," sambung istriku seakan tidak pernah habis memberi alasan.

"Sur," suaraku pelan berharap istriku melembutkan sikapnya, "Bagi Abang, parsel-parsel itu mengusik ketenangan bathin Abang. Rumah tidak perlu diramaikan parsel. Idul Fitri untuk lomba ajang pamer parsel," sambungku dengan suara selembut mungkin.

Istriku belum mau menangkap dan memahami makna wejangan kusampaikan. Dia terus bersikeras dengan argumennya.

"Saat lebaran, para lurah akan datang bersilaturrahmi ke rumah kita. Malu, Bang, kalau tidak ada parsel di rumah kita," istriku menambah alasan untuk mendukung argumennya.

"Siapapun yang datang bukan untuk melihat parsel, tapi bersilaturrahmi," tandasku.

*****

Aku duduk di kursi ruang tamu. Mataku berkeliling melihat satu persatu parsel yang berjejer. Sementara istriku terus asik membenahi kain gordyn jendela. 

"Pajangan parsel tidak akan membuat orang kagum kepada kita, tetapi menjadi cemoohan," kataku menunjukkan rasa jengkel terhadap parsel-parsel itu.

"Tolong mengertilah, Sur! Pejabat pemerintah dilarang menerima parsel,"

"Jadi, mau diapakan parsel-parsel itu?" Intonasi suara istriku meninggi.

"Banyak warga yang membutuhkannya! Imbas kenaikan harga minyak warga membutuhkan uluran tangan kita," sambungku, agar hati istriku semakin memahami makna berbagi.

"Bagaimana kalau orang-orang yang memberi parsel itu tahu pemberian mereka diberikan kepada?" Tanya istriku yang coba mengolah pola pikirku.

"Sur..." Kataku dengan manja seraya merangkul pundaknya. "Hidup ini sebentar. Usia kita hanya seujung kuku. Harta dunia itu fatamorgana," sambungku bagai motivator. Istriku hanya memperhatikan tiap gerak mulutku. Terkesan dia tidak mampu menangkap makna ucapanku.

"Abang tidak tahu dengan marah mereka. Marah Allah yang kita takuti." Lanjutku.

Istriku tercenung. Barangkali dia sudah dapat menangkap sebuah pesan hikmah. Wajahnya sendu. "Maafkan aku, Bang," pintanya.

"Maaf Abang selalu tersedia untukmu, sayang," balasku dengan romantis.

*****

Usai membayar zakat fitrah melalui amil di masjid, aku berserta istri dan kedua anak kami beranjak dari rumah ke rumah warga di pemukiman kumuh. Kami membagikan parsel-parsel yang menumpuk di rumah. Mereka menerimanya dengan penuh sukacita.

Rumahku sudah kosong dari parsel. Sekarang giliranku memenuhi rumahku dengan niat yang suci untuk saling bermaafan dengan sesama manusia. Aku merasakan senyum kedamaian dari segenap isi rumah. 

Rumah dinasku yang tidak besar itu terasa sangat luas. Seakan aku tidak mampu untuk menjangkau semua ruang. Setiap langkahku menampakkan jejak baru di hadapanku.

👉 Analisa, Kamis, 27 Oktober 2005

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDAKI SERIBU ANAK TANGGA ZIARAH KE MAKAM SAHABAT RASULULLAH

KESEDERHANAAN SAID BIN AMIR

SEBUTIR PELURU