DARI SEBUAH SURAU

Cerpen
RINTIK-RINTIK hujan terlihat jelas di sorotan lampu sepeda motor yang dikendarai Adlin. Pria lajang itu tidak menghiraukannya. Laju sepeda motor dipercepatnya menerobos jalan bebatuan yang kian gelap ditelan malam.

Rintik hujan kian tak bersahabat. Guyuran hujan semakin deras. Meskipun tempat tujuan Adlin tinggal dua kilometer lagi, dia merasa tak mampu untuk menerobos derasnya hujan. Beliau berteduh di sebuah surau.

Surau itu berupa bangunan panggung. Dinding dan lantainya terbuat dari papan. Langit-langitnya tanpa asbes. Cahaya yang menerangi surau itu hanya sebuah lampu pijar.

Adlin duduk beralaskan sajadah. Dia tak merasa sendirian di surau itu. Bathinnya mengatakan ada yang menemaninya dan terus mengawasi setiap langkahnya. Namun Adlin tak takut. Malah bathinnya merasakan ketenangan dan kenyamanan.

Sorot mata Adlin tertuju ke jam dinding yang ada di surau. Hampir pukul setengah sepuluh. Sementara hujan belum juga reda. Jalan bebatuan yang persis berada di depan surau, sunyi sekali. Tak seorang pun lewat di situ. Pintu rumah penduduk yang ada di sekitar surau, tak satu pun yang terbuka.

Adlin merebahkan badannya di atas sajadah yang didudukinya. Matanya cepat sekali terpejam. Dia pun lelap dalam tidur.

" Assalamualaikum, " 
Ucap seorang lelaki tua berbusana jubah putih lengkap dengan sorbannya.

Sambil mengusap-usap jenggotnya yang sudah memutih, lelaki itu mendekati Adlin 

" Waalaikumsalam, " 
Balas Adlin.

Lelaki tua mengulurkan tangan kepada Adlin. Adlin cepat menyambut uluran tangan pria berjubah itu. Adlin sangat terkejut, karena telapak tangan orang tersebut sangat halus, lembut, dan dingin.

" Sebebarnya ananda tak boleh masuk ke surau ini, apalagi sekarang bulan suci Ramadhan, "
Kata lelaki yang mulutnya terus bergerak melafazkan zikrullah.

" Mengapa, Pak?, "
Tanya Adlin ingin tahu.

" Surau hanya untuk orang-orang yang jauh dari dosa, dan orang yang mau bertaubat atas dosa yang telah dilakukannya. Ananda banyak dosa dan tega membawa masuk masuk barang haram ke surau ini, "
Jawab pria berjubah putih.

" Pada bulan suci Ramadhan ini seharusnya ananda manfaatkan untuk banyak beristiqfar dan zikrullah. Bulan mulia ini kesempatan untuk minta ampun kepada Allah atas dosa-dosa yang telah dilakukan, "
Sambung lelaki yang semakin duduk merapat ke sisi Adlin.

Bathin Adlin tersentak seperti orang yang terbangun dari tidur lelap. 

" Maaf, Pak, saya telah melakukan kesalahan, "
Kata Adlin dengan menundukkan kepala.

" Saya mudah memaafkan, ananda. Sebaiknya ananda segera beristiqfar. Minta ampun kepada Allah Swt. Jangan tunda taubatmu, sebab kematian bisa datang setiap saat. Jangan terpedaya dengan bujuk rayu nafsu, "
Wejangan lelaki itu membuat Adlin tidak dapat berkutik.

Adlim diam saja. Nafasnya terasa berhenti.

" Tidak ada kata terlambat untuk bertaubat. Selagi kehidupan masih menyertai ananda, Allah pasti memberi keampunan. Ananda belum mempunyai bekal yang akan dibawa ke negeri akhirat, "

" Siapakah Bapak ini?, "
Adlin memberanikan diri menanyakan identitas sosok pria itu.

Lelaki berjubah putih tersenyum. Indah sekali senyum itu. Terbersit keteduhan dan kedamaian di dalam senyum itu.

" Malaikat yang akan mencabut nyawa saya kah, Bapak?, "
Tanya Adlin dalam ketakutan yang memenuhi jiwa dan raganya.

" Jangan takut! Saya wajah keselamatan untukmu, "

Adlin merasa tubuhnya menggigil kedinginan. Dipeluknya dengan erat lelaki tua yang berada di hadapannya.

" Ananda takkan sanggup merasa pedihnya siksa dari Allah atas dosa-dosa yang dilakukan selama di dunia. Ananda tidak mampu merasakan panasnya api neraka, "

" Tolong. Tolong saya, Pak, "

" Sebelum ananda pulang, sucikan raga dan bathinmu dari kekotoran dosa. Mandi dan berwudu' dengan air yang ada di surau ini, "
Kata lelaki itu seraya menepuk tiga kali pundak Adlin. Setelah itu, lelaki itu lenyap, hilang bagai ditelan bumi.

Adlin terbangun dari tidurnya sepanjang malam di surau itu. Sayup-sayup terdengan Azan subuh berkumandang dari masjid. Pikiran dan perasaan Adlin tak bisa lepas dari minpinya malam tadi. Badannya masih menggigil ketakutan.

" Bertemu malaikat kah aku? Sudah dekatkah ajalku?, "
Bathin Adlin bertanya-tanya.

" Ya...Allah, ampunkan dosa hamba, "
Spontan Adlin beristiqfar.

Bathinnya tenang. Adlin segera mandi, bersuci, dan berwudu' dengan air yang ada di surau itu sesuai pesan lelaki dalam mimpi Adlin. Adlin mendirikansholat subuh. Usai sholat bathinnya semakin tenang dan damai. Tak ada lagi kegelisahan di hatinya.

Tugas dari bosnya, Adlin seharusnya malam itu tepat waktu mengantarkan racikan narkoba kepada pengedar di ujung desa itu. Adlin membatalkan dan tidak mempedulikan itu lagi. Dikembalikan racikan narkotika kepada bosnya di kota.

" Kau masih mau gabung dengan kami atau tidak? Sampai pagi ini sudah enam kali pengedar itu menelepon menanyakan keberadaan kau. Ke mana kau malam tadi?, "
Tas bos Adlin.

" Ditangkap polisi?, "
Tanya Dodi, lelaki berbadan kekar, tangan si bos narkotika.

" Ada jaringan lain yang menghalangi, kau?, "
Tanya si bos.

" Allah tak mengizinkan langkahku. Langkahku dihentikanNya, "
Jawab Adlin tanpa ragu.

Pria berbadan kekar dan wajah berewokan yang dikenal sebagai bos besar peredaran narkoba di kota kecamatan X, tertawa terkekeh-kekeh. Lelaki itu memukul-pukul pundak Adlin.

" Adlin ini bukan masjid untuk membahas masalah agama. Lihat Adlin sekelilingmu. Itu kamar kerjaku, teman kita berpesta pora. Kurasa kau kesurupan, ya?, "
Ejek si bos.

" Kau sudah bosan dengan uang jutaan rupiah, makan enak, perempuan-perempuan cantik? Bekerjalah dengan patuh! Jangan gara-gara kau kami kehilangan pengecer di desa itu. Mengerti, kau!, "
Bentak Dodi.

" Aku tak bisa terus-terusan begini. Ini barang laknat, kalian, "
Kata Adlin seraya mencampakkan bungkusan berisi narkoba.

Kedua lelaki berwajah garang dan siap bersikap beringas terhadap Adlin, saling berpandangan. Mereka merasa tidak percaya dengan perubahan sikap Adlin.

" Ada apa sebenarnya? Kau mau.minta tambah kenaikan uang jasa?, Baik! Aku tambah 50 persen, "
Kata si bos dengan bangganya seraya mencampakkan seikat uang ratusan ribu.

" Maaf, Bang. Hidupku sudah penuh dilumuri dosa. Hidup ini hanya sesaat. Aku tak mau hidup dan matiku sia-sia. Aku belum punya bekal apapun yang bisa kubawa ke negeri akhirat. Biarkan aku mengisi sisa hidupku dengan kebajikan, " 
Adlin bicara bagai seorang pendakwah.

" Maksud kau mau keluar dari jaringan kami? Ooo...tidak semudah itu, Adlin. Kau orang yang dekat denganku. Kau banyak tahu rahasia diriku dan kelompokku, "
Kata si bos mencoba membuka pikiran Adlin.

" Jaringan mana yang memintamu?, "
Tanya Dodi dengan suara keras sembari mendekati Adlin.

Tangan Dodi begitu mudah memukul kepala Adlin. Bathin Adlin memberontak diperlakukan seperti itu. 

" Aku mau bertaubat, " 
Adlin berterus terang.

" Seeereettt, "
Ujar Dodi seraya menyeretkan jari telunjuk di lehernya.

Sejurus kemudian si bos mengambil sepuncuk pistol dari balik baju yang dikenakannya. Pistol itu diarahkan persis mengenai kening Adlin.

" Jika hari ini saya mati. Bukan mati karena kalian. Mati saya karena Allah. Saya ikhlas, "
Adlin tanpa gentar mengeluarkan keputusannya.

" Aku tidak bisa memberi kesempatan kepadamu untuk berubah menjadi orang baik, "
Si bos berkata dengan geram. Giginya menggeretak.

Dor...dor! Dua letusan pistol berbunyi nyaring memenuhi ruang itu. Dua butir peluru menembus bahu dan betis kaki Adlin. Bersamaan dengan terkapar dan bersimbah darah Adlin, raungan sirene mobil polisi sampai di lokasi persembunyian kelompok jaringan narkoba tersebut.

Meski si bos dan Dodi nyaris melarikan diri dari sergapan polisi, namun berkat kesigapan polisi, seluruh anggota jaringan berhasil dibekuk polisi. Sementara Adlin dilarikan ke rumah sakit. Dokter berkat keahliannya, walau sempat kritis, Adlin selamat. Dokter berhasil mengeluarkan kedua butir peluru dari tubuh Adlin.

Setelah dua hari pasca operasi, Adlin siuman. Tangannya bergerak-gerak meraba bagian tubuhnya yang dibalut perban.

" Ya, Allah, masih Kau beri kesempatan untukku beristiqfar dan menghambakan diri kepadaMu, "
Bathin Adlin bicara lirih. Air mata membasahi pipinya ketika matanya melihat emaknya berada di sisinya. Padahal perempuan itu pernah dibentaknya ketika menasihati Adlin, agar menjauhi narkoba.

Harian Analisa, Medan, 13 Oktober 2005











Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDAKI SERIBU ANAK TANGGA ZIARAH KE MAKAM SAHABAT RASULULLAH

KESEDERHANAAN SAID BIN AMIR

SEBUTIR PELURU