SELAMAT JALAN SAYANG

Cerpen

SELAMAT JALAN SAYANGKU

SEJAK SMA, antara aku dan Ria telah menjalin hubungan asmara, tapi tidak mendapat restu dari kedua orang tuanya. Mereka menilai bibit keluargaku kurang baik. Ayahku pernah terjerembab ke lembah minuman keras dan judi. Mereka takut kalau hal tersebut menular dalam kehidupanku. Yang dapat menghancurkan kebahagiaan Ria. 

Apapun rintangan yang menghadang kami hadapi bersama sebagai wujud kesetiaan hati. Aku dan Ria tahu konsekwensinya, Ria akan didepak dari keluarga jika bersikeras mempertahankan kebersamaan denganku. Namun Ria tidak mempersoalkan hal itu. Dia kokoh dengan keputusannya menjadi istriku. Walhasil, aku dan Ria mengambil jalan lintas, kawin lari.

"Ini calon anak kami yang pertama, dok. Sudah enam tahun kami membina rumah tangga," kataku kepada dokter yang memeriksa kondisi kehamilan Ria.

"Kondisi ibu dan bayi sehat. Harapan saya, untuk menyetabilkan kondisi ibu dan bayi, ibu harus banyak beristirahat, konsumsi vitamin, sayur, dan buah," kata dokter Rugaiya.

"Oya...," sambung dokter Rigaiya, "Usai sholat Subuh, jalan pagi santai, agar pergerakan bayi lancar di dalam kandungan."

"Insya Allah, dok," balas istriku.


*****

Enam tahun pernikahan kami, belum juga terbuka pintu maaf kedua orang tua Ria untuk kami. Tidak pernah sekalipun keluarga istriku datang menjenguk, atau sekadar bertelepon kepada Ria. Kami sudah berusaha datang ke rumah orang tua Ria untuk meminta maaf. Namun kedatangan kami tidak digubris. Untuk masuk ke halaman rumah saja keluarga Ria tidak mengizinkannya. Malah pintu pagar mereka tutup rapat.

Akh...biarlah! Aku tidak mau pelik memikirkan hal tersebut. Yang penting aku dan Ria hidup bahagia, walau dalam keserderhanaan.

"Bang, perutku sakil sekali," kata Ria membangunkanku di tengah malam.

"Kita ke rumah sakit?" Tanyaku penuh gusar.

"Iya, bang. Perut sakit sekali," jawab Ria dengan wajah yang pucat dan tangannya mengusap-usap perutnya yang membuncit.

"Sabar, ya? Berdoalah kepada Allah."

Dengan mobil yang kupinjam dari bang Adnan, tetangga kami, kularikan Ria ke rumah sakit bersalin tempat selama ini  mengontrol kondisi kehamilannya. Sebelum sampai di rumah sakit, aku panik dan gusar. Ria pingsan di dalam mobil. Untunglah emakku yang ikut menemani berusaha menyadarkan Ria dengan memukul pelan pipi Ria.

"Ria...Ria. Bangun, Ria," kata emakku berkali-kali. Namun Ria tidak juga sadar. Aku semakin takut ketika emak mengatakan ada bercak darah di selangkangan Ria.

Sampai di pelataran IGD petugas dan perawat rumah sakit segera membawa Ria dengan beroda ke ruang pemeriksaan. Dokter dan perawat dengan cepat bertindak untuk mengetahui kondisi istriku.

"Istri Bapak harus segera dioperasi," kata dokter jaga setelah melakukan diagnosa dan melaporkannya kepada dokter Rugaiya, ahli kandungan di rumah sakit tersebut.

"Operasi?" Ulangku seakan aku salah mendengarnya, karena selama ini tidak ada terbesit Ria harus dioperasi dalam persalinannya.

"Iya, Pak. Ini petunjuk dari dokter Rugaiya," kata dokter jaga.

Aku terdiam dalam galau. "Pak, langkah terbaik untuk menyelamatkan ibu dan bayi," sambung dokter itu.

"Kritis kondisi istri saya?" Tanyaku penuh gusar.

"Eee...ibu mengalami pendarahan dan bayi dalam kandungan ibu, sungsang, pak."

Kutanda tangani surat persetujuan operasi terhadap Ria. Aku dan emak hanya bisa pasrah kepada Allah dan terus berdoa kepada Allah, agar diberikan kemudahan dan kesehatan untuk istri dan anakku.

Sebelum masuk kamar operasi, Ria masih terbaring tanpa sadar di ruang observasi. Sambil menunggu kedatangan dokter Rugaiya dan menyiapkan kamar operasi, istriku terus mendapat perawtan yang baik.

Seorang perawat keluar dari ruang observasi. Dia menyebut namaku. Aku segera menghampirinya.

"Bapak suami ibu Ria?" Tanya perawat.

Aku mengangguk, "Iya! Kenapa istri saya?"

"Ibu sudah siuman. Bapak boleh menjenguknya" kata perawat dengan ramah.

Kuikuti arahan perawat itu untuk melihat kondisi Ria di ruang observasi. Tiga orang perawat sedang memidahkan Ria ke atas kereta sorong untuk dibawa ke kamar operasi.

"Bang," suara Ria lemah.

Tanpa sungkan aku langsung memeluk Ria dengan haru dan kasih. 

"Maafkan Ria, bang,"

"Ria tidak ada salah sama abang,"

Aku berusaha tegar di hadapan Ria. Sesungguhnya aku tidak mampu melihat dia dalam kondisi lemah seperti itu. Kuusap pelan bening yang membasahi pipinya.

"Teruslah berdoa kepada Allah," pintaku seraya mendarat kecupan lembut di keningnya.

Ria menyuruh mendekatkan telingaku ke mulutnya. Serasa berbisik dia berkata, "Bang, kalau umurku pendek, aku rela anak kita diasuh ibu tiri,"

Aku terbengong. "Ria, jangan berucap seperti itu. Insya Allah kamu dan anak kita sehat dan selamat,"

"Bang, ciumlah aku sekali lagi." Pinta Ria.

Dengan lembut dan penuh haru kucium lagi kening Ria. Dia tersenyum bahagia. 

Ria dibawa ke ruang operasi. Aku dan emak duduk dengan perasaan tidak menentu di ruang tunggu dekat kamar operasi.

Malam terus berjalan menembus gelap. Selama itu pula berbagai alat operasi bermain di tubuh Ria. Persis ketika kumandang azan terdengar dari masjid di kompleks rumah sakit, persis saat muazzin mengucapkan kalimat "Allahhuakbar", dokter Rugaiya keluar dari kamar operasi dan berlalu ke ruang kerjanya.

Tidak berapa lama, seorang perawat mengajakku untuk bertemu dengan dokter Rugaiya. Jantungku berdebar kencang. Nafasku terasa diburu berpacu dengan gelisah yang memenuhi bathin.

"Maaf, Pak" ujar dokter Rugaiya.

"Kenapa, dok?"

"Semua sudah menjadi takdir dan qodo dari Allah,"

"Maksud, dokter, istri saya..." Ucapanku terhenti.

"Mohon maaf, Pak. Istri Bapak meninggal dunia sesaat setelah anak Bapak lahir," kata dokter Rugaiya.

Tanpa terasa air mata membasahi kedua pipi. Pandanganku nanar. Dunia terasa hampa. Langkah tertatih seakan bumi tidak bisa kuinjak lagi.

Aku berusaha tenang dan sabar dengan mengucapkan, "Innalillahi Wainnailaihi Rojiun"

Emakku terkulai lemas ketika kuberi tahu, bahwa Ria telah kembali menghadap Khaliknya. Untunglah emakku tidak sampai pingsan. Setelah kuberi minum air hangat, beliau kembali segar.

Ria yang belum berumur sehari harus kutinggalkan di rumah sakit, agar dia mendapat perawatan yang prima. Kondisinya kurang sehat. Dia harus berada di dalam ingkubator selama beberapa hari, agar kondisinya fit.

*****

Usai penguburan istriku, aku tidak tahu bagaimana merasakan kehidupan ini. Aku kehilangan satu tonggak cinta yang mengkokohkan cita-cita. 

Tiba-tiba di pelupuk mataku hadir Ria dengan senyum manisnya. Suaranya manja menyapa lembut di telingaku. Tawanya yang nyaring terngiang-ngiang di telingaku. Seolah-olah Ria berada di sisiku sedang bercanda menjelang kami tidur malam.

Ini Desember. Desember keenam kami menjalani suka duka kehidupan beruma tangga. Desember memberiku cerita duka. Air mataku terkuras membasahi cintaku dan Ria.

"Bang, anak kita," suara itu berbisik jelas di telingaku.

Antara mengkhayal atau terbawa perasaan, di hadapanku berdiri Ria dengan tersenyum. Namun bayangan itu hilang saat kuusap mataku dengan telapak tangan.

"Astaqfirullah," ucapku.

"Huh...setan telah merusak akal pikiranku," kataku dalam hati.


***""

Malam hari, petugas rumah sakit datang ke rumahku membawa kabar yang membuat air mataku harus tumpah lagi.

"Maaf, Pak, kami menyampai surat dari rumah sakit,"

Aku terbengong setelah membaca isi surat itu. "Anak saya meninggal?" Tanyaku kurang yakin.

"Iya!" Kata perawat yang mendampingi petugas.

Doaku damailah di sisi Allah. Semoga kita dapat bersama di Jannah Allah. Aamiin ya, Allah. Selamat jalan, sayangku!

✍️Kedai Durian, Kamar Sepiku, 25 November 1991

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDAKI SERIBU ANAK TANGGA ZIARAH KE MAKAM SAHABAT RASULULLAH

KESEDERHANAAN SAID BIN AMIR

SEBUTIR PELURU