RAMADHAN TANPA AYAH

Cerpen
LIMA tahun belakangan, kondisi kesehatan ayahku terus menurun. Mungkin efek dari kecelakaan lalulintas yang dialaminya, sehingga mengharuskan beliau opname beberapa hari di rumah sakit.

Encok dan reumatik yang mendera sendi kerap kumat menggerogoti kaki ayah. Jika sakit mendera, ayah tidak bisa beraktivitas. Bahkan untuk ke kamar mandi, kami harus membopongnya. Namun keceriaannya tetap terpancar kepada kami.

Menyadari dirinya mahluk yang lemah, semua perjalanan hidup dipasrahkan kepada Allah. Namun beliau merupakan sosok yang pantang menyerah berjuang untuk kehidupan keluarga. Prinsip hidupnya keras dan tegas. Begitupun, di hatinya tersimpan ketulusan dan kelembutan dalam mendidik anak-anaknya.

Ramadhan tiba, ayah sangat sibuk dan peduli menyiapkan diri dan keluarga. Beliau mengkomanda anak-anaknya, agar berziarah bersama ke kuburan keluarga. Keputusan ayah menjadi kesepakatan kami untuk memenuhinya, walaupun kami disibukkan oleh urusan pekerjaan.

Makan sahur dan berbuka puasa merupakan kesempatan yang berbahagia bagi kami untuk berkumpul. Kesempatan itupun menjadi media untuk semakin mempererat rasa kebesamaan dan persaudaraan. 

"Ketahanan fisik melaksanakan ibadah puasa bukan ditentukan banyak makan dan minum saat sahur," kata ayah kepada kami saat usai makan sahur. 

"Ketahanan fisik ditentukan oleh niat dan ketulusan berpuasa. Jika niat suci, Insya Allah datang pertolongan Allah," sambungnya. Nasihat itu tidak pernah kulupakan hingga saat ini.

Menjelang tidur, usai sholat tarawih, ayah dan emak sambut menyambut bercerita kepada kami tentang kisah perjuangan orang-orang terdahulu yang mengungsi pada masa penjajahan, penumpasan PKI di kampung kami, Delitua.

Cerita ayah dan emak tentang masa silam mereka bukanlah bualan. Kisah tersebut dituturkan kepada kami untuk tahu sejarah dan menumbuhkan sikap kebersamaan di dalam keluarga. Sekaligus pula hal sebagai cermin, bahwa hidup penuh tantangan yang harus dihadapi dengan keberanian bersikap dan bertindak bijaksana.

"Ayah pernah menghukum anggota PKI?" Tanyaku pada suatu malam Ramadhan.

Ayah hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku. Namun, ayah bercerita, bahwa dia dengan kawan-kawannya pernah dikejar orang-orang bersenjata tajam. Seorang teman ayah bocor kepalanya kena sabetan arit.

"Ayah tidak pernah menghukum mereka. Ayah hanya memimpin sejumlah orang untuk menghancurkan pengkhianat bangsa," kata emak menjelaskan.

Kupandang wajah ayah. Beliau tersenyum dengan mulut agak terbuka, sehingga terlihat giginya yang berkurang satu demi satu.

"Memimpin itu tugas berat. Pemimpin harus berada di depan, meskinpun harus berhadapan dengan senjata," kata ayah memotivasi anak-anaknya.

"Tapi," sambung ayah, "Pemimpin bukan harus menghukum. Kebijaksaan yang harus ditegakkan oleh pemimpin," kata ayah berdiplomasi.

Kini, semua tinggal kenangan. Ramadhan tahun ini ayah tidak bisa bercerita lagi. Sampai kapan pun ayah tidak mampu lagi bercerita. Matanya sudah tidak dapat melihat kami. Mata indahnya sudah dipejamkan untuk selamanya. Ayah telah kembali menghadap Allah.

Musabab sakit yang diderita, pada malam Isra' Mi'raj dengan damai dan tenang ayah menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit. Wajahnya berseri dan seulas senyum tergambar di bibirnya sebagai ungkapan keikhlasan meninggalkan dunia fana yang penuh gejolak.

Cuma kuburan...ya hanya kuburan dan sepasang batu nisa yang dapat kutatap. Tanganku tidak sanggup untuk memeluk, atau sekadar menjabat tangannya. Akan tetapi hatiku akan terus memeluknya.

Ramadhan datang dengan senyum penuh berkah. Ayah tak lagi bersama kami. Duka bersimbah air mata menggenangi setiap kenangan. Detik-detik yang berjalan tanpa detak canda. 

Suara ayah tidak lagi terdengar membangunkan kami untuk makan sahur. Aku kehilangan sosok yang menjadi benteng dalam setiap langkah. Ramadhan tanpa ayah sangat mengiris luka. Namun, aku tahu, ayah tidak menginginkan kami mati hati. 

"Orang yang mati tidak butuh dikenang, dan ditangisi," suara itu membangunkanku dari keterlenaan hanyut bermain dengan bayangan ayah.

"Mak!" Kataku.

'Mereka butuh doa anak soleh. Doa yang dapat mecegah siksa kubur," sambung emak.

✍️ Suka Makmur, Kamar Sepiku, 7.12.1999  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDAKI SERIBU ANAK TANGGA ZIARAH KE MAKAM SAHABAT RASULULLAH

KESEDERHANAAN SAID BIN AMIR

SEBUTIR PELURU