NOVEMBER CERIA

Cerpen

PADA zaman sekarang sangat sulit untuk mendapatkan lowongan pekerjaan. Lowongan pekerjaan yang ada tidak sebanding dengan jumlah orang yang membutuhkan pekerjaan. Disisi lain, untuk menjadi PNS harus didukung segepok uang dan pejabat yang suaranya bisa didengar. Sementara untuk bekerja di perusahaan swasta dibutuhkan pekerja yang mempunyai ketrampilan dan pengalaman kerja.

Jarot, tenaga kerja yang tidak mempunyai pengalaman kerja. Tiga tahun dia telah menyelesaikan pendidikan SMA, tetapi masih berstatus pengangguran. Menyadari kondisi itu, dia menggali potensi yang dianugerahkan Allah kepadanya. Menulis, ya...menulis ketrampilan yang dimilikinya. Ketrampilan menulis itu dimanfaatkan Jarot untuk mendapatkan uang dengan mengirim tulisan ke suratkabar.

Sejak bulan November, tiga tahun yang lalu telah komitmen untuk beraktivitas di dunia kepenulisan. Dia tidak berniat lagi bekerja sebagai karyawan di kantor perusahaan. Tak pelak lagi. Kesehariannya berkutat dengan menulis dan menulis.

*****

November, bulan yang teramat indah bagi Jarot. Pada bulan itu Jarot memutuskan dan memulainya kariernya sebagai penulis. Sudah tiga November dia menjalani asanya. Meski belum banyak curahan sinar matahari memasuki bathinnya, namun Jarot sangat mensyukurinya. Dia puas dan bahagia mampu menyampaikan ide-idenya kepada pembaca.

Jarot tidak pernah tahu, apakah November ketiga ini akan mendapatkan bayangan asa yang membawanya melangkah lebih jauh? Yang pasti, November tahun lalu Jarot terkurung di dalam duka. Winda, kekasinya berpisah kota dengan Jarot.

Winda pinda ke Jakarta. Dia mendapat amanah dari ayahnya untuk menggantikan beliau sebagai direktur mengelola perusahaan periklanan dan percetakan. 

Kecewa! Ya...pastilah Jarot kecewa, karena gadis itu mesin motivasi bagi Jarot berkiprah. Namun, lelaki sederhana dan bersahaja itu bukan tipe yang mudah putus asa. Denyut nadi kehidupannya terus dikibarkan memenuhi langit biru.

*****

Jarot keluar dari kantor suratkabar tempatnya menulis. Dia baru mengambil honorarium tulisan. Tidak banyak. Lumayan untuk uang saku lelaki lajang.

Siang itu, suhu kota Medan, panas. Sembari berteduh dan melepas dahaga, Jarot masuk ke warung di pinggir jalan. Dipesan segelas teh manis dingin. 

Perlahan Jarot menikmati teh manis dingin. Sepasang mata dari sudut warung terus memperhatikan Jarot. Jarot tidak menyadari hal tersebut.

Setelah meyakini, bahwa lelaki yang berada di hadapannya adalah Jarot, sepasang mata itu melangkah pasti mendekati Jarot.

"Hai, Jarot!" Perempuan pemilik sepasang mata itu langsung menyapa Jarot.

Jarot cepat berbalik ke arah asal datangnya suara. Dipandangnya lama perempuan yang berada di hadapannya. Jarot seakan tidak percaya dengan penglihatannya, sehingga beberapa kali mengusap matanya.

"Baru setahun nggak jumpa Winda, sudah lupa, ya sama Winda?"

"Eee...tetap ingat! Cuma kok tidak mengabari balik Medan?" Jarot sedikit kecewa.

"Suprise!" Jawab Winda.

"Baru kemarin Winda sampai di Medan," sambung Winda.

Tidak banyak yang mereka bicarakan dalam pertemuan tersebut. Hanya saling tatap dan melepas rindu. Rindu yang tidak pernah hilang dari hati keduanya.

"Kamu masih aktif menulis?" Tanya Winda setelah mereka berada di dalam mobil Winda.

"Ya!" Jawab Jarot singkat.

"Jujur! Aku ingin kerja formal sebagai sesuai dengan profesiku sebagai penulis," sambung Jarot.

Winda tersenyum. Jarot tergoda dengan senyum itu. Tangan usilnya mulai lasak mengelus lengan Winda ketika memindah tuas ponsneling mobil.

"Winda balik ke Medan untuk Bang Jarot," kata Winda terbuka.

"Nikah?" Tebak Jarot.

Sekilas Winda menoleh kepada Jarot. Rona bahagia mewarnai hati Winda. Hatinya berbunga-bunga.

"Aku mendirikan perusahaan suratkabar mingguan," sambung Winda.

"Untuk sementara kantor redaksi di rumah papa. Rencananya akhit November terbit perdana," tambah Winda menjelaskan.

"Aku melamar jadi wartawan?" Pancing Jarot.

"Jangan!" Balas Winda.

"Kita bermitra. Kita bersama mengelolanya," sambung sarjana ekonomi itu.

Setelah lampu traficligh berubah menjadi hijau, Winda kembali memacu mobilnya di tengah ramai kota Medan.

"Bang Jarot, Winda ingin mengakhiri petualangan kita," ujar Winda.

Jarot terkejut mendengar pernyataan dari kekasihnya itu. Semangat Jarot remuk redam. Winda menyadari perasaan lelaki yang berada di sampingnya. 

 "Saya turun di depan rumah itu," kata Jarot yang merasa kecewa dengan ucapan Winda.

"Mau ke mana?"

"Rumah kawan," jawab Jarot tanpa ekspresi.

"Nggak! Winda ingin bersama Abang."

"Winda mau kita menikah, Bang," sambung Winda seraya menghentikan mobil di bahu jalan.

"Winda nggak bisa berpisah kota dengan Abang. Terlalu banyak godaan," (Kedai Durian, Kamar Sepiku, 27 Oktober1988)

Realitas Pos, Medan, Oktober 1988

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDAKI SERIBU ANAK TANGGA ZIARAH KE MAKAM SAHABAT RASULULLAH

KESEDERHANAAN SAID BIN AMIR

SEBUTIR PELURU