K H A Y A L A N

Cerpen

YON tidak tahu harus menjawab apa ketika seorang dara menyapannya. Bukan berarti dia kikuk atau grogi berhadapan dengan perempuan. Yon belum mengenalnya. 

"Saya, Sri Purnama Sari, mahasiswi semester akhir. Suka bergaul bebas," kata dara itu memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangannya kepada Yon.

"Anda jangan sangsi!" Sambung dara itu. "Bergaul bebas bukan pereks, kumpul kebo, nyabu. Kebebasan saya, ceplas ceplos. Saya bukan gadis pingitan," lanjut Sri.

"Nona Sri mengenal saya dari mana?" Tanya Yon di tengah deru suara air terjun.

"Majalah. Biografi dan gambar abang ada dalam majalah," kata Sri.

"Nona senang membacanya?"

Sri mengangguk. "Lebih senang lagi setelah membaca cerpen tulisan, abang."

"Kok senang?" Tanya Yon.

"Kisah dalam cerpen itu persis dengan realita kehidupan saya."

"Sejak itu," sambung Sri, "Aku selalu menanti cerpen abang. Semua cerpen abang kukliping. Pokoknya abang cerpenis idolaku,"

"Nona Sri berlebihan," ujar Yon merendah.

"Nggak!" Bantahnya.

"Banyak cerpenis yang karyanya lebih baik daripada karya saya. Bahkan cerpen saya pernah dikritik belum memenuhi syarat untuk dikatakan sebuah cerpen," Yon berasumsi.

"Abang nggak boleh kalah dengan ocehan. Teruslah berkarya!" Sri memberi semangat.

"Sri akan selalu mendukung, abang. Mendampingi abang dan..." Ucapan Sri terputus.

"Jangan bersandiwara, nona!" Kata Yon.

"Maksudnya?" Tanya Sri.

"Ungkapkan isi hati nona yang sebenarnya. Bukankah kejujuran itu lebih baik daripada menyembunyikan sesuatu, yang pada akhirnya mengecewakan diri sendiri,"

"Bahasa indah. Inilah yang aku suka dari abang,"

Dara yang mengecap pendidikan bidang jurnalistik itu menggeser duduknya mendekati Yon. Lelaki itu bersikap wajar saja, walaupun getar hatinya mulai berbisik tentang romantis. Sejarah baru dalam hidupnya akan terlukis di bawah cucuran air terjun.

"Bang Yon," desah Sri setelah menggenggam tangan Yon.

Yon tidak mampu berkutik. Dia hanya dapat melihat dan merasakan kulit halus tangan Sri membelai tangannya.

Yon mengalihkan pandangannya ke wajah dara itu. Tak pelak! Keduanya saling berpandangan. Pandangan itu tembus masuk ke relung hati mereka. Gelora pun berkecamuk dalam pikiran dan perasaan.

"Bang Yon, biar siangku cerah dan malamku penuh bintang, maukah Bang Yon membawaku berlabuh di pelabuhan cinta?"

"Nona Sri, aku tidak mampu membawamu berlayar dalam bahteraku. Bahteraku kecil. Nona akan takut merasakan banyak debur ombak,"

"Abang Yon, jujur. Sejujur dan selembut cerpen-cerpen, abang. Inilah yang membuatku berani menaiki bahteramu, bang."

Yon diam. Deru air terjun dan kemesraan Sri menyandarkan kepalanya ke bahu Yon, sirna. Yon sudah terlalu jauh berjalan mengenang kejadian tiga tahun di bawah air terjun itu. Kekasihnya, Reni memutuskan hubungan dengan Yon, karena dia hanya seorang penulis.

Kejadian itu menghujam bathin Yon, bahwa dia tidak berhak mencintai dan dicintai. Yon memosisikan dirinya menjauh dari asmara.

"Cinta itu rasa, bang. Cinta bukan untuk dipikirkan. Bukan pula untuk dikalkulasikan," Sri memecah kesunyian.

Yon tersadar dari perjalanan bathinnya. Tangan lembut Sri membersihkan rambut Yon dari guguran dedaunan. Yon merasakan ketulusan hati Sri. Getaran cinta menggugah hati Yon. Yon memeluk erat perempuan yang berada di hadapannya. Sri pasrah ketika Yon merapatkan tubuhnya ke dada Sri. Desah membasahi jiwa dan rasa mereka.

"Ha...ha...ha," Yon tertawa kuat.

"Hei, Yon. Kau tertawa sendiri. Kau mengkhayal lagi?" Tanya Edi, teman Yon yang terusik dari tidurnya mendengar tawa Yon.

Yon terkejut mendengar teguran dari temannya itu. Dia mencoba mengalihkan perhatian Edi.

"Kau semakin gila sejak cerpenmu terbit di suratkbar," vonis Edi.

"Kau terus sibuk dengan khayalanmu. Berhentilah mengkhayal, Yon!" Sambung Edi.

"Tenanglah, kawan. Aku harus menyelesaikan cerpen ini, karena berbeda dengan cerpen-cerpenku yang lain," Yon memberikan alasan.

"Kok bisa?" Tanya Edi heran.

"Cerpenku yang ini akan menjadi kenyataan. Tokoh perempuan dalam cerpenku ini, kenalanku," jawab Yon.

"Apa hubungannya dengan kenyataan?"

"Dia sudah beberapa kali mengirim surat kepadaku. Dia yang memintaku menulis cerpen ini," jawab Yon.

"Tidak ada bedanya dengan cerpenmu yang lain," ujar Edi.

"Pasti berbeda, kawan. Aku tidak suka dan tak bisa menulis cerpen kalau disuruh orang. Nah, kali ini aku menulis cerpen atas permintaan cewek itu," Yon beralasan.

"Terserahlah! Kuharap kau jangan sampai melupakan kepala, kaki, tangan, dan mulutmu," kata Edi kesal.

Yon melanjutkan khayalannya. Tik...tik...tik, bunyi mesin tik terus mengukir waktu di kepala Yon.

Kedai Durian, 24 Oktober 1997

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDAKI SERIBU ANAK TANGGA ZIARAH KE MAKAM SAHABAT RASULULLAH

KESEDERHANAAN SAID BIN AMIR

SEBUTIR PELURU