MENTARI KECIL BULAN RAMADHAN


SIANG itu mentari mencurahkan kekuatan panasnya ke bumi sangat terik. Mungkin kemudahan mentari meluncurkan panas dikarenakan lapisan ozon yang sudah menipis. Pernah kudengar seorang ahli mengatakan, bahwa ozon lapisan utama yang menghalangi siraman panas matahari terjun bebas ke bumi.

Aku menghentikan sepeda motor persis didepan warung makan. Aku sudah lama menjadi pelanggan makan siang di rumah makan itu. Selain harganya sesuai dengan isi kantongku, cita rasanya lumayan nikmat di lidah orang awam seperti aku.

Warung makan itu milik mang Karya yang dibangun di bawah pohon mahoni dan di atas beton penutup parit. Biasanya warung itu terbuka polos tanpa dinding terpal. Sekarang warung tersebut sekelilingnya ditutup dengan kain spanduk iklan produk makanan instan. Keadaan itu sebagai apresiasi mang Karya terhadap bulan Ramadhan dan ummat Islam yang sedang melaksanakan ibadah puasa.

Langkahku masuk ke dalam warung sebagai langkah setan. Setan mengajak dan menemaniku untuk makan dan minum disaat saudara-saudaraku berpuasa. Banyak orang di dalam warung itu yang belum menyadari eksistensinya sebagai hamba Allah.

"Nggak puasa, mas?" Tanya mang Karya.
Tanganku memukul pelan perutku, "Kumat maag," jawabku sekenanya dengan malu-malu.

Barangkali orang yang duduk di sebelah merasa geli mendengar jawabanku itu. Sembari menyuapkan nasi dia melirik kepadaku. Terlukis senyum cibiran di bibirnya.

"Jangan...jangan yang ada di sini lagi kumat maagnya?" Canda mang Karya.
"Mungkin begitulah!" Balasku.
"Mas pesan apa?" Tanya mang Karya.
"Nasi campur dan sepotong ayam bakar."

Ketika suapan pertama masuk ke dalam mulutku, seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun datang mendekati. Tangannya yang kurus memegang sikat semir sepatu. Sebuah tas terbuat dari kain spanduk iklan yang dijahit dengan kasar tersandang di bahunya.

Meskipun bocah itu seorang penyemir sepatu, namun dari sorotnya terpancar sebuah optimis untuk menggapai asa yang diimpikannya. Raut wajahnya yang kekanak-kanakan tidak mengeluarkan rona hambar menghadapi cerita kehidupan yang sedang dilakonkannya.

Senyum tipis bibirnya tidak sebagai sinyal tidak ada torehan luka di bathinnya. Pada masa keceriaan untuk bermain dengan teman sebaya terkikis ditelan perjalanan nasib yang sudah menjadi takdir kehidupannya.

"Semir sepatu, bang," bocah itu menawarkan jasanya kepadaku.
"Semir, bang?" Bocah itu mengulangi penawaran jasa yang dijualnya.
"Hmmm...bagaimana ya, dik. Masih bersih, dik," jawabku.
"Semir sajalah, bang biar lebih mengkilat." Kata bocah itu menggodaku. 

Muncul rasa ibaku kepadanya. Aku setuju dia menyemir sepatuku.
"Jangan lama, ya," pintaku.
"Beres, bang," ucapnya meyakinkan.

Selesai aku menyantap makan siang, sepatuku belum diantarkan anakku. Aku menjadi khawatir kalau sepatuku yang harganya lumayan mahal dilarikan bocah itu. Batang hidungnya tidak kelihatan. Aku tidak tahu di mana dia menyemir sepatuku.

"Maaf, bang," 
Ucapan anak itu menyentakkan kelayuan bathinku yang sedang melayang di awan.
"Saya tadi menyemir sepatu seorang bapak di warung itu," sambungnya memberi alasan sambil menunjuk warung yang berjarak lima meter dari warung mang Karya.

Harapan dan warna wajah mengiba. Wajah polosnya dipenuhi peluh dan sedikit memerah dibakar terik panas matahari. Bibirnya yang mungil tampak pucat dan kering . Tenggorokannya seskali bergerak menahan dahaga.

"Kamu puasa?" Tanyaku.
Dia menggangguk lemah.
"Anak sekecil kamu tahan puasa sambil bekerja di bawah terik matahari?" Tanyaku merasa kagum sekaligus tersudut oleh ketabahan anak sekecil dia. 
"Insya Allah. Alhamdulillah, bang,"
"Kamu kog bisa berpuasa?" Tanyaku ingin tahu sebagai perbandingan untuk diriku.
"Sejak kelas satu SD saya sudah dilatih ayah dan emak berpuasa. Kan puasa itu wajib, bang." Katanya dengan polos.
"Puasa nggak melihat panas atau sejuk udara. Juga nggak memandang jenis pekerjaan, bang." Bagai ustazd anak kecil itu menceramahiku.

Bathinku merasakan tusukan belati wejangan yang amat tajam. Darah-darah dosa yang menumpuk dan membeku di hati keluar berserakan. Aku tidak menghitung berapa banyak darah-darah dosa yang berserakan di hadapanku.

"Kata guru ngaji saya, puasa melatih kesabaran menghadapi cobaan," sambung bocah yang seperti memahami kondisi rohaniku.

"Kata guru ngaji saya juga, puasa melatih manusia agar mau berbagi terhadap orang miskin,"sambungnya.

"Siapa guru mengajimu?"

"Ayah dan emak," jawabnya pasti.

"Sangat beruntung kamu. Oya...berapa biaya senir sepatu saya?"

"Lima ribu, bang."

"Ini. Kembalian untukmu. Terima kasih ya, dik," kataku seraya memberikan selembar uang sepuluhribu.

"Terima kasih, bang," balasnya dengan sopan.

Wejangan anak kecil itu terus berbisik di telinga dan bathinku. Aku tidak konsentrasi lagi untuk melanjutkan pekerjaan yang masih di atas meja kerjaku.

Berbagai tudingan, amarah, dan kebencian melontar dari hatiku terhadap perjalanan hidupku selama ini. "Alangkah berdosa kau, Rusman. Usiamu sudah empatpuluhan. Segeralah bertaubat! Sebab kematian datang menjemputmu setiap saat dan di manapun."

"Buka hatimu. Buka pintu taubatmu. Kuncinya ada di hatimu. Nawaitu. 

"Bercerminlah, Rusman!" Lanjut suara yang terngiang-ngiang di telingaku, "Anak kecil yang setiap hari bergulat dengan rintihan hidup dan terjangan matahari ikhlas dan mampu berpuasa. Mengapa kamu yang sudah tua tidak mampu membuka mata hati?"

"Anak kecil itu matahari untukmu. Ini hidayah. Rahmad Allah yang tidak boleh kau sia-sia,"

Aku tergolek tanya mendengarkan rintihan yang bermain di lubuk hatiku. Badanku terasa mati.

"Astaqfirullah," ucapan itu mengalir bagai air dari hati dan mulutku.

✍️Publikasi Harian Analisa
✍️Rabu, 11 Oktober 2006

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDAKI SERIBU ANAK TANGGA ZIARAH KE MAKAM SAHABAT RASULULLAH

KESEDERHANAAN SAID BIN AMIR

SEBUTIR PELURU