RUMAH BERCAT PUTIH

Cerpen

RUMAH BERCAT PUTIH

Hampir sebulan ebulan Drs.Muis, Kepala SMU Negeri 50 tidak melaksanakan tugasnya. Sakit kencing manis yang mendera tubuhnya, kambuh. Yang mengharuskan beliau opname di rumah sakit.

Sosok Muis yang dikenal sebagai guru yang berdisiplin, ulet, dan gigih. Biarpun dalam kondisi sakit, tetapi pikirannya tertuju ke sekolah yang dipimpinnya. 

Siksaan bathin yang dalam baginya terkurung dalam kamar opname. Siksaan itu kian mendera nuraninya ketika dokter menasihatkan, agar beliau istirahat total selama seminggu setelah keluar dari rumah sakit 

" Assalamualikum, " seseorang mengucapkan salam di depan pintu rumahnya.

Muis yang sedang duduk santai sembari membaca buku di ruang tamu rumahnya. Dengan perlahan beliau berjalan mendekati pintu dan membukanya.

" Alaikumsalam, "  balasnya setelah membuka pintu rumah.

Muis terpana melihat orang yang berdiri di hadapannya. Beliau seakan tidak percaya dengan penglihatannya. Dibuka kacamata minusnya. Beberapa kali diusap kacamata itu dengan jari tangannya.

Orang yang berada di hadapan Muis merupakan teman dekatnya, bahkan sangat dekat ketika masih mengecap pendidikan di bangku SMA. Sekarang orang itu sudah menyandang gelar Magister Managemen dan menduduki posisi penting di pemerintahan daerah tingkat propinsi.

" Aku dengar Pak Muis masuk rumah sakit?, " tanya pria itu memulai percakapan setelah mereka duduk berhadapan.

" Kencing manisku kambuh. Hampir sebulan opname. Baru tiga hari aku keluar dari rumah sakit, " balas Muis dengan akrab.

" Ini anak, Pak Muis?, "  tanya Imran, sahabat Muis itu ketika seorang gadis remaja menghidangkan dua gelas minuman.

" Iya. Bungsu dari tiga bersaudara. Sudah kelas tiga SMU, "

" Sekolah di SMU tempat Pak Muis bertugas?, "

" Tidak, "

" Mengapa tidak bersekolah di sekolah yang Pak Muis pimpin?, "

" Jumlah NEMnya tidak mencukupi. Dia sekolah di SMU swasta, "

" Pak Muis kan punya kekuasaan di sekolah itu. Sekalipun jum NEM anak Bapak rendah, tapi Bapak bisa mengolahnya masuk ke sekolah Bapak. Siapa yang berani menantang kebijaksanaan, Bapak, " kata Imran menggegoti hati Muis.

" Saya tidak mempunyai kekuasaan di sekolah itu. Saya hanya menjalankan amanah Allah. Saya hanya melaksanakan amanah yang dipercayakan Allah dan pemerintah. Saya tidak mampu memanfaatkan jabatan, " Muis menangkis hamburan kata Imran dengan bahasa yang halus dan indah.

Keduanya terdiam dihanyutkan oleh perasaannya masing-masing. Imran menyempatkan matanya berkeliling melihat ruang rumah berukuran enam dikali limabelas meter itu.

" Pak Muis kalau bersikap seperti itu akan terperosok ke dalam kekakuan era kini. Bahkan Bapak akan dikuculkan rekan sejawat, " balas Imran seakan tidak mau kalah dengan pandangan Muis.

Muis tersenyum kecil. Diteguk perlahan air minum yang tadi dihidangkan anaknya.

" Tidak mengapa terperosok ke dalam kekakuan era kini, asal jangan terperosok ke Neraka Allah. Biarlah dikubcikan teman, asalkan tidak dikucilkan Allah dan SurgaNya, "

Imran terdiam. Hati dan nuraninya menangis mendengar ucapan sahabatnya itu. Muis merasakan getar itu. Dia tidak mau larut dengan kondisi tersebut. Muis coba mencairkan suasana.

" Aku yakin, Imran kedatanganmu bukan sekadar untuk menjengukku, tapi ada misi lain kan?, " 

Imran memaksakan senyumnya. Senyum itu hambar sekali.

" Dua hari yang lalu anakku dipecat dari sekolahnya, karena menggunakan narkoba.  Kuharapkan kali bantuan Pak Muis, " kata Imran dengan penuh sungkan.

" Dia sudah kelas 3. Aku mohon bantuan, Pak Muis, " sambung Imran.

" Apalah yang bisa kubantu?, "

" Pasti Pak Muis tahu maksudku, "

" Eee...mendaftarkan anak Pak Imran menjadi SMU Negeri 50? "

" Iya! Tolonglah, Pak. Sedih kali saya. Sudah kelas 3 dia. Nggak tahu lagi saya dimasukkan ke sekolah mana, " kata bagai berlutut di hadapan Muis.

" Secara kemanusiaan saya bisa memaafkan anak, Bapak. Akan tetapi mohon maaf. Sebagai guru saya tidak mampu menerimanya masuk di SMU Negeri 50. Mohon maaf, "

" Berapa pun biaya masuknya akan saya bayar, Pak Muis, " 

" Pak Imran, dunia pendidikan tidak mengenal rupiah. Yang dikenal nilai keikhlasan, kemauan, kesugguhan, dan kemampuan IQ, "

*********

Imran tidak merasa putus asa dengan langkahnya. Esoknya, dia datang lagi menemui Muis. Hari itu Imran datang bersama istrinya.

" Pak Muis, kami ada sedikit rezeki. Kami mau berbagai dengan Bapak dengan merehab rumah ini, agar lebih besar dan indah, " kata istri Imran melemparkan suntikan sihir dunianya.

" Terima kasih. Saya senang ada saudara yang mau membangunkan rumah untuk saya. Tapi sayang, yang akan kalian berikan itu sangat kecil. Kalian datang sudah terlambat, " kata Muis dengan suara penuh wibawa.

" Berapa besar pun biayakan yang Pak Muis butuhkan akan kami siapkan, " Imran mulai bersemangat.

" Kalian tidak akan mampu menandingi rumah yang telah lama kusiapkan, "

Imran dan istrinya saling berpandangan. Kecamuk pertanyaan berisi di rongga hati dan pikirannya.

" Rumah saya itu, di sini, " kata Muis sembari menunjuk hatinya.

" Hati dan niat saya telah terpancang dengan kuat sejak dahulu sebuah rumah mewah bercat putih. Rumah itu tidak akan pernah saya jual, " sambung Muis bagai penyair.

" Saya damai berdiam di dalam rumah itu. Rumah yang memberi kesejukan, kedamaian, dan kebahagiaan sejati. Tidak ada kepalsuan, " lanjut Muis dengan semangat.

**********

Malamnya, setelah Imran dan istrinya pulang, secara mendadak kadar gula Muis kembali menaik. Kondisinya kritis. Beliau harus kembali dilarikan ke rumah sakit.

Persis di depan pintu Unit Gawat Darurat, Allah memanggil Muis untuk kembali ke haribaanNya. Pecah tangis istri dan anak Muis.

Muis tersenyum meninggalkan dunia yang penuh dengan kepura-puraan ini. Jasad orang jujur itu terbujur kaku di ruang tamu, tempat beliau melepas lelah.

Satu demi satu guru dan siswa memandang untuk terakhir kalinya orang yang amat banggakan dan hormati. Setiap pasang mata berdoa dan meneteskan air mata untuk Muis.

Akankah rumah bercat putih milik Muis tersia-sia tanpa ada yang mewarisinya? Akankah orang-orang berebut warisan Muis? Waktu akan terus melangkah menuju hari akhir!

Suka Makmur, 20 November 1999
Analisa - Kamis, 25 November 1999

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDAKI SERIBU ANAK TANGGA ZIARAH KE MAKAM SAHABAT RASULULLAH

KESEDERHANAAN SAID BIN AMIR

SEBUTIR PELURU