ASA SEPANJANG DETAK JANTUNG


Cerpen
BIASANYA istriku, Salma menyiapkan sarapan untukku, tetapi pagi itu dia hanya duduk di kursi meja makan dengan wajah sedih. Kegesitan dan keriangannya memasak nasi, menggoreng telur, dan mengaduk segelas teh manis untukku, sedikit pun tidak tergambar pagi itu. Aku tak terlalu khawatir dengan perubahan sikapnya, karena aku merasa hal itu pembawaan dari janin yang telah bersemayam di dalam rahim Salma.

"Masih mual, Sal?" tanyaku. Salma hanya menggeleng.

"Lho...koq menangis?"

Salma menyeka air matanya yang tiba-tiba saja bercucuran mengalir membasahi pipinya. Aku bingung, karena tidak tahu entah apa yang membuat hatinya begitu bersedih.

"Aku mimpu, Bang," kata istriku sambil terisak.

Aku mendekat kepada Salma dan duduk persis di sebelah kanannya. Aku membelai rambut hitamnya. Salma merebahkan kepalanya ke dadaku sebagai ungkapan minta perlindungan dan kasih sayang dariku.

"Mimpi hanya bunga tidur. Mimpi bukan isyarat. Tak perlu mimpi dijadikan beban pikiran." Aku menggulirkan wejangan ke hatinya.

Salma menatap wajahku. Lama dia melempar tatapannya. 

"Salma melihat Ibu. Beliau hanyut dan tenggelam dibawa arus tsunami. Ibu melambaikan tangannya dan meminta tolong kepada Salma." Salma mulai menceritakan alur mimpinya.

"Ibu...Ibu. Ibu, Bang," suara Salma terisak. Hatinya luka dan berdarah.

Kupeluk erat tubuh Salma, agar hentakan sedihnya mencair. 

"Tubuh Ibu hilang. Tenggelam, Bang,"
isak Salma dalam pelukanku.

"Salma sangat berdosa, Bang. Tak mampu menolong Ibu."

"Salma, itu hanya mimpi. Jangan menjadi beban pikiran. Ingat anak kita dalam kandungan Salma. Jika Salma terbeban pikiran, maka akan berdampak tidak baik terhadap anak kita,"

Salma cepat melihat dan membelai perutnya yang mulai terlihat membesar. Aku jadi ikit-ikutan membelai perutnya. Bahkan menghadiahkan sebuah ciuman. Betapa senangnya aku, karena aku merasa bagai membelai kepala mungil anakku.

Aku tersentak kaget dari lamunan membelai kepala mungil anakku. Tiba-tiba istriku berdiri dan beranjak ke kamar mandi. Dia muntah. Aku menjadi khawatir kalau hal itu efek dari kekalutan hatinya.

Kubopong Salma masuk ke kamar tidur. Kurebahkan perlahan tubuhnya di atas ranjang.

"Nggak apa-apa, Bang. Cuma efek ngidam saja," Salma menuturkan.

Hatiku lega mendengar penjelasan Salma. Namun, aku tetap berusaha mengoleskan minyak angin ke perut dan bagian lubang hidung Salma. Terapi bau minyak angin dapat meringankan ketidaknyamanan dalam tubuh.

"Bang, Salma yakin Ibu masih hidup."
Suara istriku terputus-putus menahan haru.

"Mudah-mudahan. Insya Allah. Aamiin."

"Bang, Salma rindu Aceh."

"Salma mau ke Aceh?" Tanyaku. Salma mengangguk pasti. 

Menjelang maghrib kami berangkat ke Aceh. Sepanjang perjalanan istriku tertidur pulas di dalam bus. Mungkin hal itu pengaruh dari obat anti mabuk yang dikonsumsinya sebelum berangkat dari terminal bus di Medan. Sementara mataku tidak bisa untuk dipejamkan. Dalam kesendirian itu aku ditemani alunan musik berirama dangdut.

Beberapa jam menembus kelengangan jalan mulus menuju Aceh, lumayan melelahkan badanku. Kini di hadapan kami tanah Nanggroe Aceh Darussalam. Puing-puing sisa keganasan tsunami masih terlihat berserakan di pesisir pantai. Rumah dan bangunan penduduk yang kupak-kapik masih dibiarkan berdiri sebagai saksi ganasnya hantaman tsunami.

Aku dan Salma ke tanah lokasi rumah dan kedai orang tua istriku yang juga terkena terjangan tsunami. Kondisinya sama dengan setahun yang lalu ketika tsunami baru menerjang, rumah orang tua istriku hanya tinggal onggokan beton yang tanpa makna. Sementara pohon blimbing di depan rumah masih bertahan hidup dan sedang berbuah lebat, sehingga banyak buahnya yang jatuh berserakan di atas tanah.

Seorang perempuan berusia lima puluhan tahun, tetangga ibu mertuaku datang menemui kami. Setelah tsunami berlalu baru hari itu Salam bertemu dengan teman Ibunya itu. Mereka berangkulan. Suasana haru dan banjir mata menjadi bagian cerita pertemuan mereka. Aku pun tidak mampu untuk membendung air mata 

"Ibumu selamat kan dari musibah tsunami?" Tanya perempuan itu setelah kami duduk di atas onggokan beton rumah orang tua Salma.

"Saya tidak ada kabar keadaan Ibu. Sampai hari ini tidak tahu apakah Ibu selamat atau tidak," ujar istriku dengan haru.

Perempuan yang mengenakan jilbab putih.itu terdiam sejenak, seakan ada sesuatu yang muncul dalam ingatannya. 

"Ibu pernah melihat seorang perempuan yang persis dengan Ibumu di barak pengungsian. Namun, kami tidak sempat bertemu, karena Ibu sebentar di tempat tersebut." kata perempuan itu memberikan secercah harapan kepada Salma.

"Benar Ibu pernah melihat Ibu saya?"
Salma mengukir tanya ingin kepastian dari perempuan tersebut.

"Insya Allah kemungkinan besar itu Ibumu, sebab warga pengungsi menyapanya dengan Mak Sal. Sama dengan sapaan orang-orang di desa kita ini." Wanita terus memberikan harapan kepada istriku.

Pandangan istriku menerawang jauh. Harapannya terpatri kuat akan dapat bertemu dengan Ibunya yang telah bersusah payah membesarkannya tanpa didampingi ayahnya yang meninggal sejak Salma berusia lima tahun.

"Saya harus bertemu dengan Ibu." Tekad istriku

Tanpa mengulur waktu, aku dan Salma bergerak meninggalkan tempat yang pernah memberikan kenangan manis keluarga istriku. Kami masuki beberapa barak pengungsian. Tidak untuk mencari seseorang di tengah berjubelnya pengungsi.

Beberapa hari setelah melakukan penjelahan dan bertanya sana-sini, titik terang muncul. Kami menemukan barak yang salah seorang penghuninya nama dan ciricirinya sama dengan ibu mertuaku.

Kami diarahlan petugas barak ke sebuah rumah tenda yang dihuni oleh tiga orang perempuan. Menurut petugas barak, ketiga perempuan itu senasib kehilangan sanak keluarga, juga putus kontak komunikasi dengan anggota keluarga yang selamat.

"Benar, nak. Kami pernah tinggal di tenda dengan Mak Sal. Tapi sejak satu setengah bulan yang lalu beliau dibawa ke Medan," kata perempuan yang kami temui di tenda pengungsian.

"Dibawa ke Medan? Siapa yang membawanya, Bu?," Tanya Salma kecewa dan penuh khawatir dengan keberadaan Ibunya.

"Sejak Mak Sal berada di sini, beliau sering sakit-sakitan. Bahkan beberapa kali dibawa berobat ke rumah sakit." Perempuan yang satu lagi menambahkan penjelasan, sehingga membuat hati Salma semakin menjerit.

"Sakit apa, Bu?" Tanya istriku.

"Kami nggak tahu pasti. Tapi menurut orang-orang di sini sewaktu tsunami Mak Sal terhirup lumpur, sehingga dia sesak nafas," jawab perempuan itu.

Duka kembali merundung hati istriku. Air matanya jatuh bersimbah membasahi kedua pipinya yang putih. Aku merangkul dan membawanya berlalu dari tempat itu.

"Sabar, Sal. Istiqfar," kataku dengan lembut serasa berbisik di telinga Salma.

"Allah Maha Pengasih. Selama detak jantung masih bermain dalam kehidupan manusia, maka selama itu pula asa akan tetap dimiliki oleh manusia," kataku memberikan motivasi.

Salma memandangku dengan wajah masih diliputi duka. Aku tahu makna tatapannya.

"Yakinlah! Insya Allah asa untuk bertemu dengan Ibu akan terwujud. Berdoalah!"

Salma tersenyum, walaupun senyum itu masih terasa hambar dan kaku. Dengan manja Salma merebahkan kepalanya ke pundakku. Tanganku dengan penuh kasih sayang membelai rambutnya yang tertutup jilbab putih. (Cerpen untuk mengenang setahun peristiwa tsunami Aceh, 2005)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDAKI SERIBU ANAK TANGGA ZIARAH KE MAKAM SAHABAT RASULULLAH

KESEDERHANAAN SAID BIN AMIR

SEBUTIR PELURU