Postingan

SANG PEMUDA

Puisi SANG PEMUDA Dulu... SANG PEMUDA  Dulu... Pemuda bersumpah Satu bahasa Untuk kejayaan bangsa Sekarang Pemuda bersumpah Sepuluh bahasa Untuk kuasai negara ---------- KITA DAN SANG BAHASA Kita belum pandai berbahasa Kita masih sebatas bisa berbahasa Karena kita berbahasa sebatS bibir Karena kita berbahasa sebatas pelajaran Sang bahasa adalah jiwa bangsa Jiwa patriotisme Jiwa nasionalisme Jangan biarkan sumpah kita Hanya sebatas monumen sejarah Bahasa yang sejati Harus tertanam subur dalam taman jiwa ---------- S E A N D A I N Y A Seandainya... Pejabat negeri ini Ikut bersumpah pada Oktober 1928 Pasti Indonesia raya milik rakyat Pasti menyebar bhinneka tunggal ika Seandainya... Pejabat negeri ini bersumpah setulus sumpah Oktober 1928 Pasti tak ada pertikaian antarsuku Pasti kemakmuran milik rakyat Ironis... Tiap kali pejabat bersumpah Yang tumpah air mata rakyat Koruptor bertambah lagi

NEGERI PENDIAM

Gambar
NEGERI PENDIAM Hari ini Negeri jadi pendiam Wajahnya ditundukkan Tak berani menatap Meskipun kaki garuda dipatahkan Negeri jadi pendiam Bagai gadis bisu Yang ketakutan dengan majikan Takut dikemplang majikan Katanya Negeriku jadi pendiam Karena diam adalah emas Tapi emas yang didapat Emas yang melelehkan air mata garuda, sehingga tak gagah melanglang buana Negeriku Jangan jadi pendiam Rasakan patriotisme Sudirman Kepalkan tangan bagai Bung Karno Penuhi ruang Indonesia dengan semangat Bung Tomo Kami anak-anak negeri Tak biarkan kaki garuda dipatahkan Kami tak izinkan garuda menangis Kami akan nyanyikan Indonesia Raya ***** SURAT BUAT WAKIL RAKYAT Bom-bom kemiskinan terletak di kota-kota Bom-bom kesusahan terpajang di desa-desa Yang harus dijinakkan sebelum meledak Namun tak ada yang mau buka mata Wakil rakyat di Senayan Yang seharusnya memungut setiap bom Pun tak mau peduli Hari ini... Engkau lebih gairah Mengemis uang rakyat Membangun rumah mewah Demi kenyamanan menghitung suara rakyat

BALADA BUAT BUNDA

Gambar
Puisi BALADA BUAT BUNDA (1) Bulan emas yang duduk di pangkuan hari ini Sama dengan yang kemarin Menyebarkan aroma keramahan dan keteduhan Aku bersamanya, Bunda Seperti yang kau tausiahkan Ketika matamu masih bertemu matahari Tapi Bunda... Saat aku menghitung sepuluh jari tangan Aku tak lagi melihat bola matamu yang bening Mengalirkan air sejuk Yang membasahi relung hati Aku lelah mencarimu, Bunda Setiap pori-pori waktu kumasuki Aku tak melihat wajahmu Terlalu jauh jarak di antara kita Aku tak bisa berlari sekencang apapun untuk meraih tanganmu Bunda... Hari ini aku hanya bisa tafakur Seraya mengadahkan tangan kepadaNya Semoga engkau tidur bagai pengantin di sisiNya Delitua, 17 September 2007 BALADA BUAT BUNDA (2) Saat butir-butir padi di sawah menguning dan burung-burung pipit beterbangan Hendak mencuri cucuran peluh yang kita tanam Aku dan Bunda tersenyum Bunda katakan, "biarkan pipit-pipit itu memakan padi" Dengan suara serak, karena sakit yang bersarang di raga, engkau ber

PERJALANAN MENUJU RAMADHAN

Gambar
Puisi PERJALANAN MENUJU RAMADHAN Perjalanan menuju pintu Ramadhan sangat lama dan jauh Tetapi tidak melelahkan tak berpeluh keluh Jika berkendara iman Kemampuan untuk sampai ke pintu Ramadhan sangat terbatas  Sesuai jumlah tarikan nafas Banyak yang terhentu di tengah jalan Pasrah dengan takdir akhir hidup yang telah ditentukanNya Bersyukurlah bagi yang diberi kesempatan berjalan sampai ke pintu Ramadhan Jangan sia-siakan tarikan nafas yang tersisa Esok belum milik kita Tebus semua dosa dan kealpaan yang sudah membeku Istiqfar di bulan ini penuh keampunan...penuh keberkahan ✍️ JANGAN BIARKAN RAMADHAN BERLALU Siapa yang tersenyum menyambut Ramadhan  Lidah neraka malu menjilatnya Sejuta amal ibadah Berjuta-juta imbalan pahala Sejuta berkah terpampang di bulan ini Seandainya Ramadhan hanya ditatap Sejuta kerugian berlabuh dalam hidup Sejuta penyesalan berlabuh di hati Jangan biarkan langkah Ramadhan berlalu Rangkul Ramadhan dengan hati putih, agar bulan emas bertahta menaburi indahnya iman

KIDUNG JIWA

Gambar
Puisi KIDUNG JIWA BUAT AYAH DAN BUNDA Ay ah dan emak tercinta Engkau bagaikan dua buah sayap yang mengendalikan kami terbang Menyusuri angkasa Kepakan sayapmu menderu-deru di antara awan Meskipun badai dan hujan menghujam Engkau berkata tulus; untuk asa Kini engkau telah pergi memenuhi janji menghadap sang Khalik Membawa amal, ibadah yang engkau siapkan Biarpun hati ingin betsamamu Menatih hari tuamu Kami tak kuasa menahan kuasaNya Kami lepas kepergianmu dengan sepuluh jari tangan Berjalanlah ayah dan emak dengan senyum menuju surgaNya Doa kami Ya...Rabbi, ampunkanlah dosa ayah dan emak kami Ayah dan emak tercinta, walaupun kedua sayap kami telah patah Kami tidak akan pernah oleng melanglang buana Kami akan terbang di antara mega Kami tidak akan menghujam ke bumi Ayah dan emak tercinta Wejangan yang engkau bius di hati kami Tak kan lekang dimakan masa Kebersamaan dan persaudaraan yang engkau tumbuhsuburkan di mata kami akan terus bernyawa Sejalan perputaran waktu ***** W A J A H Wajah.

MENTARI KECIL BULAN RAMADHAN

Gambar
SIANG itu mentari mencurahkan kekuatan panasnya ke bumi sangat terik. Mungkin kemudahan mentari meluncurkan panas dikarenakan lapisan ozon yang sudah menipis. Pernah kudengar seorang ahli mengatakan, bahwa ozon lapisan utama yang menghalangi siraman panas matahari terjun bebas ke bumi. Aku menghentikan sepeda motor persis didepan warung makan. Aku sudah lama menjadi pelanggan makan siang di rumah makan itu. Selain harganya sesuai dengan isi kantongku, cita rasanya lumayan nikmat di lidah orang awam seperti aku. Warung makan itu milik mang Karya yang dibangun di bawah pohon mahoni dan di atas beton penutup parit. Biasanya warung itu terbuka polos tanpa dinding terpal. Sekarang warung tersebut sekelilingnya ditutup dengan kain spanduk iklan produk makanan instan. Keadaan itu sebagai apresiasi mang Karya terhadap bulan Ramadhan dan ummat Islam yang sedang melaksanakan ibadah puasa. Langkahku masuk ke dalam warung sebagai langkah setan. Setan mengajak dan menemaniku untuk makan dan minum d

ASA SEPANJANG DETAK JANTUNG

Gambar
Cerpen BIASANYA istriku, Salma menyiapkan sarapan untukku, tetapi pagi itu dia hanya duduk di kursi meja makan dengan wajah sedih. Kegesitan dan keriangannya memasak nasi, menggoreng telur, dan mengaduk segelas teh manis untukku, sedikit pun tidak tergambar pagi itu. Aku tak terlalu khawatir dengan perubahan sikapnya, karena aku merasa hal itu pembawaan dari janin yang telah bersemayam di dalam rahim Salma. "Masih mual, Sal?"  tanyaku.   Salma hanya menggeleng. "Lho...koq menangis?" Salma menyeka air matanya yang tiba-tiba saja bercucuran mengalir membasahi pipinya. Aku bingung, karena tidak tahu entah apa yang membuat hatinya begitu bersedih. "Aku mimpu, Bang,"   kata istriku sambil terisak. Aku mendekat kepada Salma dan duduk persis di sebelah kanannya. Aku membelai rambut hitamnya. Salma merebahkan kepalanya ke dadaku sebagai ungkapan minta perlindungan dan kasih sayang dariku. "Mimpi hanya bunga tidur. Mimpi bukan isyarat. Tak perlu mimpi dijadika