Postingan

TRAGEDI TOPO

Gambar
Cerpen SIAPA yang tidak mengenal pria berbadan ceking dan berambut gondrong awutan? Banyak penulis muda dan kaum muda yang mengenal dan mengaguminya. Topo namanya. Dia terkenal setelah berkali-kali cerpennya terbit di majalah idola remaja. Kepopuleran Topo tidak pernah membuatnya sombong dan angkuh. Topo yang ramah dan sederhana tetap menjadi identitasnya sehari-hari. Akan tetapi amat disayangkan, kini Topo kehilangan dirinya. Dia lupa dengan eksistensi dirinya. Seakan Topo tak pernah lahir di bumi. Topo tak mau tahu lagi dengan kepopulerannya. Juga tidak mau peduli dengan cerpen. Sekarang yang diketahuinya rokok, alkohol, ganja, dan morfin. Topo telah bersekutu dengan penghancur masa depannya. Padahal dahulu, semua itu musuh baginya. Bahkan dalam cerpennya Topo pernah bercerita tentang kekejaman benda terlarang itu. Semua pengagum Topo hanya menaruh rasa kasihan dan prihatin kepadanya. Namun tak seorang pun yang berusaha untuk mengajaknya bangkit kembali dari kehancuran. Orang-orang h

JANGAN JUAL SEKOLAH KAMI

Gambar
Cerpen HAJJAH Rayati,  Kepala SD Negeri Sukamaju berdiri di belakang jendela ruang kerjanya yang terbuka lebar. Dipandangnya ratusan siswa yang berhamburan keluar dari kelasnya masing-masing, setelah bel jam pelajaran terakhir berbunyi. Setelah siswa terakhir meninggalkan areal   sekolah, yang berada di pinggir Jalan Kelurahan Sukamaju, barulah perempuan berkacamata minus itu kembali duduk di kursi di belakang meja kerjanya.   Pikiran guru yang telah 25 tahun berbakti di dunia pendidikan, sedang kacau dan risau. Bukan dilema keluarga yang menggerogoti bathinnya. Bukan pula karena ditunda kenaikan pangkat dan golongannya. Kecamuk yang menggayut bathin dan pikirannya setelah dua orang pria berbadan besar menemuinya, dua hari yang lalu. Kedua orang pria yang mengaku sebagai staf di kantor kelurahan, bukan untuk menagih pajak bumi dan bangunan. Mereka datang membawa dan menunjukkan belas lembar surat yang ditandatangani oleh lurah. Isi surat itu menyatakan telah dibangun gedung baru SD Neg

MENGAKHIRI NOMADEN

Gambar
Cerpen LAHAN yang dapat kujadikan ladang untuk menanam pohon bernama asa, terbentang luas. Bibit pohon pun sudah terbungkus rapi dalam plastik jiwa. Akan tetapi hatiku menyimpan tanya, akankah aku mampu mengolah tanah dan menyemai bibit? Akankah bibit yang kutanam tumbuh dengan subur dan berbuah? " Pertanyaanmu tidak membutuhkan jawaban. Jangan menunggu! Mulailah mencangkul tanah!,"  kata ayahku ketika beliau melihatku memegang cangkul. Sejak itu, cangkul tersebut kujadikan sahabat. Dia setia membantuku menggali tanah sekeras apapun. Jasanya besar sekali. Puluhan ribu ton buah dan pohon asa telah kunikmati. Waktu mengalir bagai air. Terus dan terus berjalan menuju muara. Kalau pada awalnya, enam belas tahun silam aku memanfaatkan lahan seluas satu hektar, kini pindah ke lahan yang lebih luas, lima hektar. Yang kutanam tidak hanya bibit pohon asa jenis T1 saja, tapi bervariasi T2, T3 sampai dengan T10. Memang melelahkan, tapi apa mau dikatakan aku keranjingan atau kemaruk. Has

MIMPI POLITIKUS

Gambar
Cerpen WAKTU ayahku menjadi politikus partai peserta pemilu, aku dikadernya untuk menggantikan beliau. Loyalitasku kepada partai tidak disangsikan lagi. Betapa tidak, darah, tulang, dan keringat rela kukorbankan untuk partai. Tujuan berpartai untuk menengakkan denokrasi dengan benar. Namun niatku, hanya isapan jempol. Banyak orang berpartai yang saling sikut untuk  mendapatkan kursi pimpinan partai. Politik uang, dan adu domba menggila saat pemilihan ketua partai. Aku benci. Aku marah. Aku kehilangan warna. Gelombang itu mengikis habis kepercayaan dan kecintaanku kepada partai. Semuanya kubuang ke laut. Kutinggalkan partai. Masabodo dengan partai. Ayahku yang sudah puluhan tahun malang melintang di partai, didepak. Sedikit pun tidak ada apresiasi yang mereka berikan kepada ayahku. Sungguh mengecewakan. Kini, jelas bagiku, bahwa tujuan mereka hanya untuk mengejar kedudukan sebagai anggota DPR. Lalu meraup kekayaan. Gelombang itu mengikis habis kepercayaan dan kecintaanku kepada partai.

LAMARAN MANTAN NAPI

AKU tidak mengerti, mengapa lelaki berperawakan kekar dan tinggi, bernama Marno itu datang bertamu ke rumah kami. Padahal selama ini hubungan keluargaku bersikap acuh terhadap pria yang baru sekitar tiga bulan meninggalkan terali besi. "Apa maunya datang ke rumah kami?" Tanya hatiku sembari mengawasi setiap gerak-gerik. "Apakah strategi untuk memperhatikan situasi rumah kami, agar mudah melakukan pencurian?" Prasangka negarif memenuhi hatiku. Yang membuatku semakin penasaran, mengapa ayahku sangat dekat dan akrab dengannya? Seolah-olah mereka pernah menjalin persahabatan yang amat intim. "Ratih, apa yang kau lakukan di situ?" Pertanyaan ibuku membuatku tersentak kaget. "Marna yang baru bebas dari penjara itu datang bertamu ke rumah kita," kataku. "Mau apa dia?" Tanya ibu. "Ayah-lah yang tahu, bu." "Jangan...jangan," kata ibu dengan wajah penuh cemas. "Jangan...jangan dia mau mencuri di rumah kita. Ya kan, bu?&qu

RAMADHAN TANPA AYAH

Gambar
Cerpen LIMA tahun belakangan, kondisi kesehatan ayahku terus menurun. Mungkin efek dari kecelakaan lalulintas yang dialaminya, sehingga mengharuskan beliau opname beberapa hari di rumah sakit. Encok dan reumatik yang mendera sendi kerap kumat menggerogoti kaki ayah. Jika sakit mendera, ayah tidak bisa beraktivitas. Bahkan untuk ke kamar mandi, kami harus membopongnya. Namun keceriaannya tetap terpancar kepada kami. Menyadari dirinya mahluk yang lemah, semua perjalanan hidup dipasrahkan kepada Allah. Namun beliau merupakan sosok yang pantang menyerah berjuang untuk kehidupan keluarga.  Prinsip hidupnya keras dan tegas. Begitupun, di hatinya tersimpan ketulusan dan kelembutan dalam mendidik anak-anaknya. Ramadhan tiba, ayah sangat sibuk dan peduli menyiapkan diri dan keluarga. Beliau mengkomanda anak-anaknya, agar berziarah bersama ke kuburan keluarga. Keputusan ayah menjadi kesepakatan kami untuk memenuhinya, walaupun kami disibukkan oleh urusan pekerjaan. Makan sahur dan berbuka puasa

RUMAH BERCAT PUTIH

Cerpen RUMAH BERCAT PUTIH Hampir sebulan ebulan Drs.Muis, Kepala SMU Negeri 50 tidak melaksanakan tugasnya. Sakit kencing manis yang mendera tubuhnya, kambuh. Yang mengharuskan beliau opname di rumah sakit. Sosok Muis yang dikenal sebagai guru yang berdisiplin, ulet, dan gigih. Biarpun dalam kondisi sakit, tetapi pikirannya tertuju ke sekolah yang dipimpinnya.  Siksaan bathin yang dalam baginya terkurung dalam kamar opname. Siksaan itu kian mendera nuraninya ketika dokter menasihatkan, agar beliau istirahat total selama seminggu setelah keluar dari rumah sakit  " Assalamualikum, " seseorang mengucapkan salam di depan pintu rumahnya. Muis yang sedang duduk santai sembari membaca buku di ruang tamu rumahnya. Dengan perlahan beliau berjalan mendekati pintu dan membukanya. " Alaikumsalam, "  balasnya setelah membuka pintu rumah. Muis terpana melihat orang yang berdiri di hadapannya. Beliau seakan tidak percaya dengan penglihatannya. Dibuka kacamata minusnya. Beberapa ka