Postingan

K H A Y A L A N

Gambar
Cerpen YON tidak tahu harus menjawab apa ketika seorang dara menyapannya. Bukan berarti dia kikuk atau grogi berhadapan dengan perempuan. Yon belum mengenalnya.  "Saya, Sri Purnama Sari, mahasiswi semester akhir. Suka bergaul bebas," kata dara itu memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangannya kepada Yon. "Anda jangan sangsi!" Sambung dara itu. "Bergaul bebas bukan pereks, kumpul kebo, nyabu. Kebebasan saya, ceplas ceplos. Saya bukan gadis pingitan," lanjut Sri. "Nona Sri mengenal saya dari mana?" Tanya Yon di tengah deru suara air terjun. "Majalah. Biografi dan gambar abang ada dalam majalah," kata Sri. "Nona senang membacanya?" Sri mengangguk. "Lebih senang lagi setelah membaca cerpen tulisan, abang." "Kok senang?" Tanya Yon. "Kisah dalam cerpen itu persis dengan realita kehidupan saya." "Sejak itu," sambung Sri, "Aku selalu menanti cerpen abang. Semua cerpen abang kukliping. Po

SELAMAT JALAN SAYANG

Gambar
Cerpen SELAMAT JALAN SAYANGKU SEJAK SMA, antara aku dan Ria telah menjalin hubungan asmara, tapi tidak mendapat restu dari kedua orang tuanya. Mereka menilai bibit keluargaku kurang baik. Ayahku pernah terjerembab ke lembah minuman keras dan judi. Mereka takut kalau hal tersebut menular dalam kehidupanku. Yang dapat menghancurkan kebahagiaan Ria.  Apapun rintangan yang menghadang kami hadapi bersama sebagai wujud kesetiaan hati. Aku dan Ria tahu konsekwensinya, Ria akan didepak dari keluarga jika bersikeras mempertahankan kebersamaan denganku. Namun Ria tidak mempersoalkan hal itu. Dia kokoh dengan keputusannya menjadi istriku. Walhasil, aku dan Ria mengambil jalan lintas, kawin lari. "Ini calon anak kami yang pertama, dok. Sudah enam tahun kami membina rumah tangga," kataku kepada dokter yang memeriksa kondisi kehamilan Ria. "Kondisi ibu dan bayi sehat. Harapan saya, untuk menyetabilkan kondisi ibu dan bayi, ibu harus banyak beristirahat, konsumsi vitamin, sayur, dan bu

OII...MAK

Gambar
DENGAN penuh rasa kecewa kutinggalkan wisma yang dipenuhi ribuan orang. Mereka melototkan matanya di deretan angka yang terpampang di dinding wisma itu. Yang pasti nomor ujianku sebagai peserta tes pegawai ngeri, tak tertera di pengumuman itu. Tidak perlu repot mencari tahu penyebab kegagalanku bersaing menjadi pegawai ngeri. Hanya menghabiskan waktu, pikiran, dan tenaga. Biarlah waktu yang memberi tahu. Kunaiku bus antarpropinsi baru kembali dari Jakarta - Medan. Aku duduk di bangku penumpang barisan kedua di belakang supir. Di sisi kiriku telah duduk seorang perempuan yang sebaya denganku. Aku dan perempuan itu saling diam.  Birahi jontikku menaik. Sesekali kucuri pandang melihat wajahnya yang manis. "Hmm...cantik!" Gumamku. Persis dengan  cewekku yang mengecewakanku. Eh...tanpa kusadari wajahnya berbalik memandangku. Senyumnya terkulum melihat sikapku yang salah tingkah. Woo...malunya. "Kenapa?" Tanyanya. "Mabuk ya?" Sambungnya sembari menyerah minyak a

SURAT KESERATUS

Gambar
Cerpen Garuda SETIAP hari ada saja surat diantar pak pos ke rumahku. Akan tetapi, aku tidak mau peduli dengan surat-surat itu. Sejak kecil, aku tidak menyukai surat-menyurat. Namun, belakangan hatiku dihentak keingintahuan tentang surat-surat itu. Pertama, surat itu dari siapa? Kedua, dari mana mereka mendapatkan alamatku, dan ketiga, untuk apa aku dikirimi surat? Keempat, mengapa istriku tidak cemburu aku dibajiri surat? Aku tahu betul sifat istriku yang pecemburu. Jika ketahuan aku bercakap-cakap dengan perempuan, rona wajahnya langsung berubah merah, dan cemberut. Tak pelak lagi, aku pun dicerca dengan pertanyaan atas perempuan yang bercakap denganku. ***** Seminggu belakangan, pak pos tidak pernah lagi datang ke rumahku. Kerinduanku dengan beliau mencuat juga, terlebih klakson sepeda motornya selalu membangunkan aku dari lamunan yang tidak bermakna. Begitupun, aku tidak memusingkan datang atau tidaknya surat untukku. Yang terpenting aku masih bisa dengan leluasa menghadap meja kerj

RATU KAMPUS DAN PROFESOR

Gambar
Cerpen Remaja Garuda I NTAN Baiduri, nama mahasiswi di sebuah kampus universitas swasta. Intan di kalangan civitas akademika dikenal sebagai ratu kampus. Gelar manusiawi didapatkannya dari kriteria kecantikan wajah dan postur tubuh yang aduhai bak penari melayu. Setiap pria yang melihatnya. Uhui... Pastilah terpesona. Banyak kumbang kampus yang membeternya, tetapi Intan tidak pernah merasa jatuh cintrong kepada mereka. Menurutnya, kumbang-kumbang kampus masih berkantong tipis. Setipis kulit bawang. Sang ratu membutuhkan kumbang berkantong tebal.  "Cintaku bukan komersil, tapi realita kehidupan," katanya kepada wartawan yang meliput berita unjuk rasa kumbang-kumbang kampus yang dipandang sebelah mata oleh sang ratu. "Cinta harus sejalan dengan tuntutan kebutuhan," sambung sang ratu. "Contoh sederhana," lanjut Intan. "Siang ini panas sekali. Aku haus, maka aku harus ke kantin membeli minuman. Butuh uang kan?" Kata ratu. Ratu berlari menuju kantin k

KABUT KEMBALI DATANG

Gambar
BETAPA senang hatiku menyambut kedatangan seorang rekan wanita, yang juga menggeliat di dunia kepenulisan dan teater seperti aku. Kami berkenalan ketika anak-anak teater menggelar malam renungan teater menyambut kedatangan tahun baru miladiyah yang penuh dengan harapan dan menyimpan sejuta kenangan. "Masih kenalkan denganku?" Tanyanya ketika kami berjabatan tangan. "Iya, aku kenal. Elida kan?" Kataku meyakinkan. "Kau Armi," ucapnya dari balik senyum manisnya. Dia duduk persis di hadapanku, sehingga membuatku sedikit kikuk bila mata lembutnya melihatku. Aku tipe lelaki pemalu, terlebih saat usia belasan tahun. Alhamdulillah, sifat pemaluku berangsur sedikit demi sedikit berubah setelah aku bergelut dengan dunia teater. Yang mana banyak menguji mental untuk memerankan berbagai perlakonan yang ada di dalam kehidupan masyarakat.  "Bagaimana masih bernafas teater kalian?"  Tanya Elida. "Ya...mudah-mudahan masih aktif, walau terkadang terlena,&quo

DIAKHIR KKN

Gambar
CURAH hujan pada siang itu menghentikan langkah sepasang remaja untuk menikmati panorama sungai. Keduanya menyingkir dari terpaan hujan. Warung di pinggir sungai menjadi tempat mereka berteduh. Irwan dan Ferra duduk berdampingan di sudut warung. Angin yang berhembus genit memainkan rambut Ferra yang tergerai sebatas bahunya. "Terima kasih, mbak," ujar Irwan kepada pemilik warung yang menghidangkan pesanan mereka, misop dan teh manis hangat. Irwan menuangkan kecap, dan saos ke bangkok misop. Hal yang sama dilakukan oleh Irwan ke bangkok misop kekasihnya. "Udah, Ir. Sedikit saja!" kata Ferra. Setelah mengaduk gula yang belum larut, Ferra mencicipi teh manis. Waw...masih terasa panas. Kening Ferra melebar merasakan panas yang menyulut lidahnya. Irwan sosok pria yang peka. Dia mengaduk berulang kali teh manis minuman sang kekasih, agar berkurang panasnya. "Minumlah!" Kata Irwan. Ferra merasa tersanjung dan kagum atas sikap kekasihnya itu. Hatinya bangga mendap